Pepaya Aku Dan Ayah
Karya : Marthen Edison
“Sial ...!“ Aku mengumpat. “Aku
bukan anak kecil lagi. Aku sudah dewasa. Ayah juga bukan anak kecil lagi. Tak
perlu ada perayaan ulang tahun segala!“
Aku memandang tiket pesawat
dan paket liburan ke Beijing di atas meja kerjaku. Besok adalah ulang tahunku.
Aku ingin merayakan berdua saja bersama Natalia, kekasihku. Namun keinginan Ayah
memaksaku pulang ke rumah tua, rumah turun temurun leluhur Ayah, membuatku badmood.
“Ed, kamu ke rumah kakek ya .... bisa, kan? Ayah dalam perjalanan nih ke sana. Ayah ingin merayakan ulang tahun
kita bersama lagi. Ibu dan adik-adik sudah Ayah beritahu dan mereka setuju.“ Terngiang
kembali diskusi sepihak di telepon tadi. Nadanya meminta tetapi tetap saja itu
berarti perintah.
Ulang tahun aku dan Ayah
memang hanya berselisih dua hari. Ayah kelahiran tanggal dua puluh sembilan
Agustus dan aku terlahir pada tanggal akhir bulan tersebut. Sejak kelahiranku, Ayah selalu memilih merayakan ulang tahunnya bersama dengan ulang tahunku. Ia menyebutnya
ulang tahun ‘kita’. Aku pernah mengusulkan untuk merayakannya pada tanggal tiga
puluh Agustus saja, tetapi Ayah menolak dengan dalih pada tanggal tersebut aku
belum berulang tahun. Aku tahu, itu hanya caranya supaya aku tidak memiliki
alasan menolak ulang tahun ‘kita’.
“Tok ... tok ... tok! “ Pintu
ruang kerjaku diketuk.
“Iya, masuk!“
Mbok Darti, pelayan keluarga
kami masuk membawa nampan. Wanita lanjut usia yang usianya tidak jauh dari usia
ibuku ini juga adalah pengasuhku.
“Pepaya kesukaan Cah Bagus di
kebun belakang sudah ada yang matang lagi. Dipetik oleh Pak Andri barusan. Nih,
sudah Mbok kupas, potong-potong dan dinginkan sebentar di kulkas seperti
biasa sesuai kesukaan Cah Bagus,“ urai Mbok Darti lengkap sambil menaruh
sepiring besar potongan pepaya segar di bagian meja kerjaku yang masih kosong
belum direbut tempatnya oleh berkas-berkas dokumen kerjaku.
“Terima kasih, Mbok Darti.“
Aku tersenyum padanya.
Mbok Darti balas tersenyum
lalu melangkah keluar.
Siang panas seperti saat ini
memang cocok bila mengkonsumsi buah-buahan segar. Tak sabar aku meraih garpu
dan mulai memasukan beberapa potongan pepaya ke dalam mulutku. Yummy, nikmat banget.
Stop!
Memori di kepalaku
menghentikan gerakan menyuap tanganku ke arah mulutku. Sejarah bagaimana pohon
pepaya ini hadir dan tumbuh subur di kebun belakang rumah kami perlahan-lahan
menyeruak keluar terbayang di mataku.
Tiga belas tahun yang lalu,
beberapa hari setelah aku menyelesaikan gelar strata satuku di fakultas
pertanian, aku dan Ayah berlomba menanam bibit pepaya di kebun belakang. Waktu
itu aku sempat menertawakan Ayah.
“Yah! Ayah seorang pengusaha
ekspor impor sukses. Mau makan pepaya tinggal beli saja, berapa duit sih
harganya? Buat apa harus capek-capek menanamnya? Ada Pak Andri tukang kebun
juga, suruh saja Pak Andri yang menanamnya.“
“Ed, ... menanam, berkebun itu
hobi Ayah. Kakekmu petani. Tidak aneh kan kalau Ayah juga berkebun? Aktivitas
seperti ini juga suatu hiburan, mengurangi stres. Tidak semua orang dapat
melakukannya.“
“Ah, Ayah. Kalau cuma menanam
pepaya itu mudah banget,“ bantahku.
“Mudah menurutmu? Ayo, buktikan!
Kita bagi jumlah anakan bibit pepaya ini menjadi dua. Kita buktikan siapa yang
akan berhasil menananmnya.“
“Oke! Aku seorang sarjana
pertanian, pastilah punyaku yang akan tumbuh subur.“ Aku senang sekali dengan
menyebut gelar pendidikan yang kuraih, walau motivasi kuliahku di fakultas pertanian
hanya untuk dapat dekat dengan Winda, mahasiswi tercantik saat itu.
Sore itu aku dan Ayah menghabiskan
waktu bersama cangkul, ember air, anakan bibit pepaya, humus, dan tentu saja
lumpur yang mengotori tangan, kaki dan baju kami.
Aku tersenyum mengingat kisah
itu.
Ceritanya berlanjut.
Dua hari setelah kami menanam,
aku dan Ayah kembali ke halaman belakang rumah untuk melihat perkembangan
tanaman-tanaman pepaya kami.
Aku terkejut. Pepayaku layu
dan tak ada harapan tumbuh lagi. Berbeda dengan pepaya-pepaya yang ditanami
ayah; begitu segar dan hijau. Hidup.
“Apa yang terjadi, Yah? Pasti
Ayah curang menaruh sesuatu pada bibit yang aku tanami.“
“Kamu salah, Ed. Tak ada
kecurangan di sini.“
“Lalu bagaimana ini bisa
terjadi? Semua bibit tanamanku mati.“
“Rahasianya mungkin sederhana.
Ayah seorang anak petani dan kamu Ed anak seorang pengusaha. Tangan kita
berbeda.“
Aku terpaku. ‘Ayah seorang anak petani dan kamu Ed anak
seorang pengusaha’. Kalimat itu begitu sederhana tetapi serasa menamparku,
masuk ke relung-relung hatiku.
Semua kebiasaan-kebiasaanku,
menganggap hidup begitu mudah satu per satu mendakwaku. Untuk pertama kalinya,
secara tiba-tiba aku memeluk Ayah dengan kerinduan yang sangat dalam. Aku tahu Ayah terheran dengan tingkahku.
Ada air mataku menetes. Semoga Ayah tak melihatnya. Penyesalan akan apa yang kuperbuat selama ini.
Malam turun dengan cepat.
Keesokan paginya ketika aku kembali ke kebun belakang, aku menemukan dalam
lubang-lubang tanaman anakan bibit pepayaku telah tumbuh subur pepaya-pepaya yang
luar biasa segar. Sementara pada lubang-lubang buatan Ayah, sudah tak nampak
lagi tanaman pepayanya.
“Aku bukan anak kecil lagi, Yah.
Aku tahu Ayah menukarnya semalam untuk membuatku senang biar aku tidak malu
dengan gelarku. Pepayaku sudah mati, tak mungkin bangkit lagi,“ gumamku
sendiri. “Begitu sayangkah Ayah padaku, sehingga ia memberikan jerih payahnya
padaku untuk kumiliki dan kunikmati?” Ada air mata kembali bergulir. Siapa bilang
lelaki tak boleh menangis?
*****
“Kring ... kring ...!“
Aku menekan tombol ‘jawab’ di handphone-ku sambil terus berjalan
memasuki halaman rumah berpagar bambu.
“Di mana kamu, Ed?“
“Ini sudah di depan pintu
rumah kakek.“
“Kamu benaran datang, Ed?“ Ada
nada terkejut dalam suara lawan bicaraku.
“Tentu saja, Yah. Untuk ulang
tahun ‘kita’,“ jawabku tegas tanpa keraguan.
Diterbitkan pertama kali oleh WA Publisher
lewat buku Kumpulan Cerpen 'My Dad My Everything', 2017.
ISBN: 978-602-6081-89-6