Friday, August 10, 2018

Pepaya Aku dan Ayah






Pepaya Aku Dan Ayah
Karya : Marthen Edison


“Sial ...!“ Aku mengumpat. “Aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah dewasa. Ayah juga bukan anak kecil lagi. Tak perlu ada perayaan ulang tahun segala!“
Aku memandang tiket pesawat dan paket liburan ke Beijing di atas meja kerjaku. Besok adalah ulang tahunku. Aku ingin merayakan berdua saja bersama Natalia, kekasihku. Namun keinginan Ayah memaksaku pulang ke rumah tua, rumah turun temurun leluhur Ayah, membuatku badmood.
“Ed, kamu ke rumah kakek ya .... bisa, kan? Ayah dalam perjalanan nih ke sana. Ayah ingin merayakan ulang tahun kita bersama lagi. Ibu dan adik-adik sudah Ayah beritahu dan mereka setuju.“ Terngiang kembali diskusi sepihak di telepon tadi. Nadanya meminta tetapi tetap saja itu berarti perintah.
Ulang tahun aku dan Ayah memang hanya berselisih dua hari. Ayah kelahiran tanggal dua puluh sembilan Agustus dan aku terlahir pada tanggal akhir bulan tersebut. Sejak kelahiranku, Ayah selalu memilih merayakan ulang tahunnya bersama dengan ulang tahunku. Ia menyebutnya ulang tahun ‘kita’. Aku pernah mengusulkan untuk merayakannya pada tanggal tiga puluh Agustus saja, tetapi Ayah menolak dengan dalih pada tanggal tersebut aku belum berulang tahun. Aku tahu, itu hanya caranya supaya aku tidak memiliki alasan menolak ulang tahun ‘kita’.
“Tok ... tok ... tok! “ Pintu ruang kerjaku diketuk.
“Iya, masuk!“
Mbok Darti, pelayan keluarga kami masuk membawa nampan. Wanita lanjut usia yang usianya tidak jauh dari usia ibuku ini juga adalah pengasuhku.
“Pepaya kesukaan Cah Bagus di kebun belakang sudah ada yang matang lagi. Dipetik oleh Pak Andri barusan. Nih, sudah Mbok kupas, potong-potong dan dinginkan sebentar di kulkas seperti biasa sesuai kesukaan Cah Bagus,“ urai Mbok Darti lengkap sambil menaruh sepiring besar potongan pepaya segar di bagian meja kerjaku yang masih kosong belum direbut tempatnya oleh berkas-berkas dokumen kerjaku.
“Terima kasih, Mbok Darti.“ Aku tersenyum padanya.
Mbok Darti balas tersenyum lalu melangkah keluar.
Siang panas seperti saat ini memang cocok bila mengkonsumsi buah-buahan segar. Tak sabar aku meraih garpu dan mulai memasukan beberapa potongan pepaya ke dalam mulutku. Yummy, nikmat banget.
Stop!
Memori di kepalaku menghentikan gerakan menyuap tanganku ke arah mulutku. Sejarah bagaimana pohon pepaya ini hadir dan tumbuh subur di kebun belakang rumah kami perlahan-lahan menyeruak keluar terbayang di mataku.
Tiga belas tahun yang lalu, beberapa hari setelah aku menyelesaikan gelar strata satuku di fakultas pertanian, aku dan Ayah berlomba menanam bibit pepaya di kebun belakang. Waktu itu aku sempat menertawakan Ayah.
“Yah! Ayah seorang pengusaha ekspor impor sukses. Mau makan pepaya tinggal beli saja, berapa duit sih harganya? Buat apa harus capek-capek menanamnya? Ada Pak Andri tukang kebun juga, suruh saja Pak Andri yang menanamnya.“
“Ed, ... menanam, berkebun itu hobi Ayah. Kakekmu petani. Tidak aneh kan kalau Ayah juga berkebun? Aktivitas seperti ini juga suatu hiburan, mengurangi stres. Tidak semua orang dapat melakukannya.“
“Ah, Ayah. Kalau cuma menanam pepaya itu mudah banget,“ bantahku.
“Mudah menurutmu? Ayo, buktikan! Kita bagi jumlah anakan bibit pepaya ini menjadi dua. Kita buktikan siapa yang akan berhasil menananmnya.“
“Oke! Aku seorang sarjana pertanian, pastilah punyaku yang akan tumbuh subur.“ Aku senang sekali dengan menyebut gelar pendidikan yang kuraih, walau motivasi kuliahku di fakultas pertanian hanya untuk dapat dekat dengan Winda, mahasiswi tercantik saat itu.
Sore itu aku dan Ayah menghabiskan waktu bersama cangkul, ember air, anakan bibit pepaya, humus, dan tentu saja lumpur yang mengotori tangan, kaki dan baju kami.
Aku tersenyum mengingat kisah itu.
Ceritanya berlanjut.
Dua hari setelah kami menanam, aku dan Ayah kembali ke halaman belakang rumah untuk melihat perkembangan tanaman-tanaman pepaya kami.
Aku terkejut. Pepayaku layu dan tak ada harapan tumbuh lagi. Berbeda dengan pepaya-pepaya yang ditanami ayah; begitu segar dan hijau. Hidup.
“Apa yang terjadi, Yah? Pasti Ayah curang menaruh sesuatu pada bibit yang aku tanami.“
“Kamu salah, Ed. Tak ada kecurangan di sini.“
“Lalu bagaimana ini bisa terjadi? Semua bibit tanamanku mati.“
“Rahasianya mungkin sederhana. Ayah seorang anak petani dan kamu Ed anak seorang pengusaha. Tangan kita berbeda.“
Aku terpaku. ‘Ayah seorang anak petani dan kamu Ed anak seorang pengusaha’. Kalimat itu begitu sederhana tetapi serasa menamparku, masuk ke relung-relung hatiku.
Semua kebiasaan-kebiasaanku, menganggap hidup begitu mudah satu per satu mendakwaku. Untuk pertama kalinya, secara tiba-tiba aku memeluk Ayah dengan kerinduan yang sangat dalam. Aku tahu Ayah terheran dengan tingkahku.
Ada air mataku menetes. Semoga Ayah tak melihatnya. Penyesalan akan apa yang kuperbuat selama ini.
Malam turun dengan cepat. Keesokan paginya ketika aku kembali ke kebun belakang, aku menemukan dalam lubang-lubang tanaman anakan bibit pepayaku telah tumbuh subur pepaya-pepaya yang luar biasa segar. Sementara pada lubang-lubang buatan Ayah, sudah tak nampak lagi tanaman pepayanya.
“Aku bukan anak kecil lagi, Yah. Aku tahu Ayah menukarnya semalam untuk membuatku senang biar aku tidak malu dengan gelarku. Pepayaku sudah mati, tak mungkin bangkit lagi,“ gumamku sendiri. “Begitu sayangkah Ayah padaku, sehingga ia memberikan jerih payahnya padaku untuk kumiliki dan kunikmati?” Ada air mata kembali bergulir. Siapa bilang lelaki tak boleh menangis?

*****

Kring ... kring ...!
Aku menekan tombol ‘jawab’ di handphone-ku sambil terus berjalan memasuki halaman rumah berpagar bambu.
“Di mana kamu, Ed?“
“Ini sudah di depan pintu rumah kakek.“
“Kamu benaran datang, Ed?“ Ada nada terkejut dalam suara lawan bicaraku.
“Tentu saja, Yah. Untuk ulang tahun ‘kita’,“ jawabku tegas tanpa keraguan.




Diterbitkan pertama kali oleh WA Publisher lewat buku Kumpulan Cerpen 'My Dad My Everything', 2017. ISBN: 978-602-6081-89-6

Aku Masih Sahabatmu









Aku Masih Sahabatmu
Karya: Marthen Edison


Begundal-begundal upahan Pak Hakim memanggul Defos. Mereka terus saja berjalan cepat, tak peduli teriakan dan tangisan histeris Defos meminta diturunkan. Edy hanya bisa menatap kepergian orang-orang yang membawa pergi sahabatnya dengan cara paksa seperti itu. Sudah sering terjadi. Namun, kali ini ada air mata berlinang di pipi Edy. Defos akan pergi selamanya. Disekolahkan ayahnya ke Jakarta, biar pengaruh buruk Edy tidak mempengaruhinya. Itu menurut begundal-begundal Pak Hakim. Sementara Edy sudah seperti saudara bagi Defos karena Defos anak tunggal. Persaingan serta permusuhan antara Pak Hakim; ayah Defos, dan Pak Nestor; ayah Edy, sudah demikian tinggi levelnya sampai persahabatan anak-anak mereka pun dikorbankan.
Pembagian air ke sawah, rebutan rumput di padang untuk ternak, hasutan bawahan masing-masing; pemantik masalah bagi Pak Hakim dan Pak Nestor disamping masalah-masalah sekunder lainnya.
“Selamat jalan, Def. Kamu akan selalu menjadi sahabatku,” ucap Edy lirih lebih mirip menghibur diri sendiri. Dilambaikan tangannya ke arah menghilangnya rombongan pembawa Defos.

*****

Hujan semakin deras. Selokan di pinggiran pematang sawah tak mampu lagi menampung luapan air. Anak-anak petani riuh bermain; menangkap udang hanyut terlempar arus sungai,  menjadi manusia lumpur dalam kubangan, juga berperahu menggunakan batang pisang.
Tak seorang dari anak-anak tersebut mengindahkan kehadiran pria berusia dua puluhan tahun di bawah rimbunan dedaunan pohon sukun.
“Tidak banyak perubahan. Masih seperti sepuluh tahun lalu,” gumamnya.
Tatapan pria itu lurus ke depan; menerobos hujan, menjelajahi waktu. Bayangan masa lalu perlahan-lahan muncul menghampirinya.
Dua bocah sebelas tahun bertelanjang dada berhujan-hujanan berlarian di pematang sawah mengikuti aliran air di selokan yang membawa dua helai daun kering, pengganti perahu dalam lomba balap perahu mereka. Tertawa tanpa beban, termasuk beban permusuhan di antara orangtua mereka. Kedua bocah itu masing-masing adalah anak tuan tanah di desa itu; Defos dan Edy.
“Seandainya bisa terulang lagi,” Kembali pria itu bergumam.
“Bisa. Mengapa tidak?”
Kaget. Pria itu buru-buru menoleh ke sumber suara di belakangnya.
“Edy?!” panggilnya.
“Setiap tahun, di tanggal yang sama saat terakhir kamu pergi dari tempat ini, aku selalu kemari, berharap aku menemukanmu.”
“Aku tahu. Aku melihat ini,” Pria lawan bicara Edy mengangkat tangannya dari pohon sukun tempatnya bersandar. Di tempat telapak tangannya menempel tadi terdapat guratan-guratan panjang pada kulit pohon sukun. Sepuluh guratan.
“Iya, aku mengguratnya setiap tahun.”
Pria itu tersenyum.
“Apa senyumanmu berarti kamu masih sahabatku?” Edy bertanya.
“Saat itu sama seperti sekarang ini, hujan deras mengguyur desa kita. Namun, aku sempat melihat pipimu basah ketika aku dibawa pergi dan aku tahu itu bukan air hujan. Melihat itu aku bertekad, aku akan kembali mencari sahabatku.”
“Artinya,” Edy meminta penegasan.
“Selamanya,” jawabnya.
“Selamat datang Defos, sahabatku.”
Hampir dengan kecepatan yang sama, keduanya maju dan saling berpelukan. Mata Edy berkaca-kaca.
“Kamu masih seperti dulu, mudah menangis. Lelaki tak boleh menangis. Malu sama badan kekarmu, Ed.”
“Cuma kali ini sejak saat itu,” Edy membela diri.
Keduanya cekikan sambil melepas pelukan.
“Apa kabar Elena, adikmu?” Defos mengalihkan pembicaraan.
“Baik, sehat.”
“Sudah menikah?”
“Belum. Sepertinya masih menunggumu. Kamu sendiri?”
Defos mengangkat kedua tangannya, memperlihatkan jari-jarinya; kosong. Tak ada satu pun cincin kawin yang melingkar. Juga bekasnya.
“Aku masih memegang janji di masa kecilku bahwa bila tiba waktunya, aku mau Elena jadi istriku. Yah ... bila Elena mengizinkan.”
“Hmmm ... memiliki ipar sepertimu?”
“Memang kenapa? Ayolah Ed,” pinta Defos.
“Itu urusan nanti kalau kamu bisa menang balap perahu,” tantang Edy
“Ayo, siapa takut?!”
Defos memungut daun kering di sekitar kakinya. Demikian juga Edy. Keduanya lalu berjalan mendekati selokan, saling menatap.
“Satu ... dua ... tiga!” Defos menghitung.
Keduanya serentak melepas daun-daun di tangan masing-masing, dan secepatnya berlari menyusul mengejar daun-daun tersebut yang hanyut dibawa air. Mereka tak peduli hujan deras, lumpur, juga wajah-wajah takjub anak-anak petani melihat tingkah mereka.

Sikumana, 10 Januari 2017 



Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit CV. Pustaka Tunggal lewat buku Kumpulan Cerpen 'Hujan Kemarin', 2017. ISBN: 978-602-60503-7-3

Berburu










B E R B U R U
Karya : Marthen Edison


Ini negeri kaya agraris
Namun, rakyat sulit mengais.
Besok makan apa?
Pertanyaannya selalu terdengar miris mengiba

Ini negeri kaya warisan
Penguasa pesta pora lahap berpangan
Besok makan siapa?
Nafsu kanibal brutal merancap raga

Pasang mata pasang telinga
Rakyat mencari, di mana beras miskin dibagi
Penguasa mencari, lahan mana belum direbut lagi
Sama-sama berburu, antara mangsa dan pemangsa

Ini negeri para kanibal
Pasang mata pasang telinga
Rakyat mati, penguasa pun berpulang ke ajal
Sama-sama berburu, antara surga atau neraka

Kupang, 08 Desember 2016 



Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Poetry Publisher lewat buku Kumpulan Puisi 'Sajak Angin', 2016. ISBN: 978-602-6240-95-8

Puisi-puisi Antologi Puisi #1 Legion Sajak Indonesia



Senja Menarik, Cantik, Unik, dan Romantik
Karya :  Marthen Edison



Senja selalu menarik
Mainan kata sang pujangga, di helai demi helai lembar-lembar lontar
Senja selalu cantik
Mainan kuas sang pelukis di atas kanvas berbingkai kayu
Senja selalu unik
Mainan bidikan sang fotografer di balik tajamnya lensa fokus
Senja selalu antik
Mainan notasi lagu sang musikal dalam rhapsody di penghujung hari.
Senja selalu romantik
Mainan romantisisme kau dan aku

Kupang, 09 November 2016






Hujan, Banjir, dan Cinta
Karya : Marthen Edison



Hujan lagi
Jakarta banjir lagi
Pengungsi berlarian lagi,
menghindari hanyut timbul tenggelam

Kemarin mendungku,
hari ini hujanku
Dalam cinta tak kulari hindari banjir
Biar kuhanyut tenggelam, tak timbul lagi untuk cinta lain

Kupang, 20 Januari 2014 





Kembang-Kembang Flamboyan
Karya: Marthen Edison


Sepe sebutan saudaraku seibu untuknya
Flamboyan namanya

Termangu aku dibuatnya
Mekar kembang-kembang merahnya,
seraya mengundang libido kaum serangga

Flamboyan bukan sakura
Berbeda dalam wujud, aroma, kata, dan rasa
Flamboyan hanyalah bunga,
bagi siapa ia berguna.

Aku terpana,
kembang - kembang flamboyan menari berirama
Angin laksana generator tarian pemujaan mereka,
memuja Sang Pencipta,
kepada siapa semua insan patut berkarsa

Sayangnya,
waktu juga tak berpihak padanya
Kuntum demi kuntum flamboyan gugur jatuh ke pusara,
meninggalkan satu nama
Flamboyan namanya

Kupang, 2016

* Sepe = Flamboyan (bahasa Kupang,NTT) 





Ketika Listrik Padam
Karya : Marthen Edison


Gelap
Listrik padam
Lilin tak ada
Senter pun tak kutemukan
Untung ada pelita buatan kakek

Cahaya remang menerangi ruang sekelilingku
Hatiku tetap gelap gulita
Dimanakah kekasihku, cahayaku?
Pelitaku menunggu;
mubazir

“Putus!”
Kata terakhirmu
Sejak saat itu,
cintaku tiada pedulimu lagi
Padam sudah pelitaku tanpa cahayamu


Kupang, 07 November 2016 





Senja Adalah Kita
Karya :  Marthen Edison


Senja bukan akhir, bukan juga awal
Senja adalah batas
Mengakhiri siang, mengawali malam

Senja bukan terang, bukan pula gelap
Senja adalah pilihan
Menerangi jiwa, menggelapkan raga

Senja bukan merah, bukan kuning
Senja adalah lembayung
Memerahkan cinta, menguningkan cemburu

Senja bukan kamu, bukan aku
Senja adalah kita
Perpaduan kamu dan aku

Kupang, 03 November 2016 




Rimba Bumi Cendana
Karya : Marthen Edison


Di rimbamu aku berkelana,
diantara semak belukar pepohonan gersang aku mencari
Masih adakah tunas-tunas muda mencuat dari tanahmu?
Atau kuncup-kuncup bunga tropis rebutan serangga lapar?
Hanya embusan angin panas menyapa membakar kulit
Di manakah mata air surgaku?
Sudah tak terdengar lagi desaunya
Aku kering berdahaga

Rimba bumi cendana namamu
Pada dahan-dahanmu aku bergantung
Pada ranting-rantingmu aku menangis
Marmer dan mangan melukaimu
Menyebar kelaparan menyusu nanah kerakusan
Jelaga napasmu, debu riasanmu
Panggillah aku ke pangkuanmu;
menikmati kenangan hijaunya masa lalu,
menguping lagi riuhnya penghuni telaga bercanda
Sebelum kulihat dirimu terseok-seok,
perlahan tapi pasti:
Mati

Kupang, 2016



Dia Bukan Donut
Karya : Marthen Edison


Dia bukan donut hanya suka donut
Jangan panggil dia donut; kuakan cemberut

Dia cantik, mungil dan bulat;
seperti donut
Melihatnya hilanglah penat

Dia bukan donut
Dia adikku si pengurai kabel kusut,
pelahap donut
Dalam kasih kami terikat,
menyatu tertawa redalah sakit

Jangan panggil dia donut
Untuknya kicau burung gereja bersahut,
riuh bernyanyi mengkidungkan; dia bukan donut



Kupang, 27 Oktober 2016




Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Poetry Publisher lewat buku Kumpulan Puisi 'Legion Sajak Indonesia, Antologi Puisi #1', 2016. ISBN: 978-602-6240-84-2