Friday, August 10, 2018

Aku Masih Sahabatmu









Aku Masih Sahabatmu
Karya: Marthen Edison


Begundal-begundal upahan Pak Hakim memanggul Defos. Mereka terus saja berjalan cepat, tak peduli teriakan dan tangisan histeris Defos meminta diturunkan. Edy hanya bisa menatap kepergian orang-orang yang membawa pergi sahabatnya dengan cara paksa seperti itu. Sudah sering terjadi. Namun, kali ini ada air mata berlinang di pipi Edy. Defos akan pergi selamanya. Disekolahkan ayahnya ke Jakarta, biar pengaruh buruk Edy tidak mempengaruhinya. Itu menurut begundal-begundal Pak Hakim. Sementara Edy sudah seperti saudara bagi Defos karena Defos anak tunggal. Persaingan serta permusuhan antara Pak Hakim; ayah Defos, dan Pak Nestor; ayah Edy, sudah demikian tinggi levelnya sampai persahabatan anak-anak mereka pun dikorbankan.
Pembagian air ke sawah, rebutan rumput di padang untuk ternak, hasutan bawahan masing-masing; pemantik masalah bagi Pak Hakim dan Pak Nestor disamping masalah-masalah sekunder lainnya.
“Selamat jalan, Def. Kamu akan selalu menjadi sahabatku,” ucap Edy lirih lebih mirip menghibur diri sendiri. Dilambaikan tangannya ke arah menghilangnya rombongan pembawa Defos.

*****

Hujan semakin deras. Selokan di pinggiran pematang sawah tak mampu lagi menampung luapan air. Anak-anak petani riuh bermain; menangkap udang hanyut terlempar arus sungai,  menjadi manusia lumpur dalam kubangan, juga berperahu menggunakan batang pisang.
Tak seorang dari anak-anak tersebut mengindahkan kehadiran pria berusia dua puluhan tahun di bawah rimbunan dedaunan pohon sukun.
“Tidak banyak perubahan. Masih seperti sepuluh tahun lalu,” gumamnya.
Tatapan pria itu lurus ke depan; menerobos hujan, menjelajahi waktu. Bayangan masa lalu perlahan-lahan muncul menghampirinya.
Dua bocah sebelas tahun bertelanjang dada berhujan-hujanan berlarian di pematang sawah mengikuti aliran air di selokan yang membawa dua helai daun kering, pengganti perahu dalam lomba balap perahu mereka. Tertawa tanpa beban, termasuk beban permusuhan di antara orangtua mereka. Kedua bocah itu masing-masing adalah anak tuan tanah di desa itu; Defos dan Edy.
“Seandainya bisa terulang lagi,” Kembali pria itu bergumam.
“Bisa. Mengapa tidak?”
Kaget. Pria itu buru-buru menoleh ke sumber suara di belakangnya.
“Edy?!” panggilnya.
“Setiap tahun, di tanggal yang sama saat terakhir kamu pergi dari tempat ini, aku selalu kemari, berharap aku menemukanmu.”
“Aku tahu. Aku melihat ini,” Pria lawan bicara Edy mengangkat tangannya dari pohon sukun tempatnya bersandar. Di tempat telapak tangannya menempel tadi terdapat guratan-guratan panjang pada kulit pohon sukun. Sepuluh guratan.
“Iya, aku mengguratnya setiap tahun.”
Pria itu tersenyum.
“Apa senyumanmu berarti kamu masih sahabatku?” Edy bertanya.
“Saat itu sama seperti sekarang ini, hujan deras mengguyur desa kita. Namun, aku sempat melihat pipimu basah ketika aku dibawa pergi dan aku tahu itu bukan air hujan. Melihat itu aku bertekad, aku akan kembali mencari sahabatku.”
“Artinya,” Edy meminta penegasan.
“Selamanya,” jawabnya.
“Selamat datang Defos, sahabatku.”
Hampir dengan kecepatan yang sama, keduanya maju dan saling berpelukan. Mata Edy berkaca-kaca.
“Kamu masih seperti dulu, mudah menangis. Lelaki tak boleh menangis. Malu sama badan kekarmu, Ed.”
“Cuma kali ini sejak saat itu,” Edy membela diri.
Keduanya cekikan sambil melepas pelukan.
“Apa kabar Elena, adikmu?” Defos mengalihkan pembicaraan.
“Baik, sehat.”
“Sudah menikah?”
“Belum. Sepertinya masih menunggumu. Kamu sendiri?”
Defos mengangkat kedua tangannya, memperlihatkan jari-jarinya; kosong. Tak ada satu pun cincin kawin yang melingkar. Juga bekasnya.
“Aku masih memegang janji di masa kecilku bahwa bila tiba waktunya, aku mau Elena jadi istriku. Yah ... bila Elena mengizinkan.”
“Hmmm ... memiliki ipar sepertimu?”
“Memang kenapa? Ayolah Ed,” pinta Defos.
“Itu urusan nanti kalau kamu bisa menang balap perahu,” tantang Edy
“Ayo, siapa takut?!”
Defos memungut daun kering di sekitar kakinya. Demikian juga Edy. Keduanya lalu berjalan mendekati selokan, saling menatap.
“Satu ... dua ... tiga!” Defos menghitung.
Keduanya serentak melepas daun-daun di tangan masing-masing, dan secepatnya berlari menyusul mengejar daun-daun tersebut yang hanyut dibawa air. Mereka tak peduli hujan deras, lumpur, juga wajah-wajah takjub anak-anak petani melihat tingkah mereka.

Sikumana, 10 Januari 2017 



Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit CV. Pustaka Tunggal lewat buku Kumpulan Cerpen 'Hujan Kemarin', 2017. ISBN: 978-602-60503-7-3

No comments:

Post a Comment