Aku Masih Sahabatmu
Karya: Marthen Edison
Begundal-begundal upahan Pak
Hakim memanggul Defos. Mereka terus saja berjalan cepat, tak peduli teriakan
dan tangisan histeris Defos meminta diturunkan. Edy hanya bisa menatap
kepergian orang-orang yang membawa pergi sahabatnya dengan cara paksa seperti
itu. Sudah sering terjadi. Namun, kali ini ada air mata berlinang di pipi Edy.
Defos akan pergi selamanya. Disekolahkan ayahnya ke Jakarta, biar pengaruh
buruk Edy tidak mempengaruhinya. Itu menurut begundal-begundal Pak Hakim.
Sementara Edy sudah seperti saudara bagi Defos karena Defos anak tunggal. Persaingan
serta permusuhan antara Pak Hakim; ayah Defos, dan Pak Nestor; ayah Edy, sudah
demikian tinggi levelnya sampai persahabatan anak-anak mereka pun dikorbankan.
Pembagian air ke sawah, rebutan rumput di padang
untuk ternak, hasutan bawahan masing-masing; pemantik masalah bagi Pak Hakim
dan Pak Nestor disamping masalah-masalah sekunder lainnya.
“Selamat jalan, Def. Kamu akan
selalu menjadi sahabatku,” ucap Edy lirih lebih mirip menghibur diri sendiri.
Dilambaikan tangannya ke arah menghilangnya rombongan pembawa Defos.
*****
Hujan semakin deras. Selokan
di pinggiran pematang sawah tak mampu lagi menampung luapan air. Anak-anak
petani riuh bermain; menangkap udang hanyut terlempar arus sungai, menjadi manusia lumpur dalam kubangan, juga
berperahu menggunakan batang pisang.
Tak seorang dari anak-anak tersebut mengindahkan
kehadiran pria berusia dua puluhan tahun di bawah rimbunan dedaunan pohon
sukun.
“Tidak banyak perubahan. Masih
seperti sepuluh tahun lalu,” gumamnya.
Tatapan pria itu lurus ke
depan; menerobos hujan, menjelajahi waktu. Bayangan masa lalu perlahan-lahan
muncul menghampirinya.
Dua bocah sebelas tahun bertelanjang
dada berhujan-hujanan berlarian di pematang sawah mengikuti aliran air di
selokan yang membawa dua helai daun kering, pengganti perahu dalam lomba balap
perahu mereka. Tertawa tanpa beban, termasuk beban permusuhan di antara orangtua mereka. Kedua bocah itu masing-masing adalah anak tuan tanah di desa itu;
Defos dan Edy.
“Seandainya bisa terulang
lagi,” Kembali pria itu bergumam.
“Bisa. Mengapa tidak?”
Kaget. Pria itu buru-buru
menoleh ke sumber suara di belakangnya.
“Edy?!” panggilnya.
“Setiap tahun, di tanggal yang
sama saat terakhir kamu pergi dari tempat ini, aku selalu kemari, berharap aku
menemukanmu.”
“Aku tahu. Aku melihat ini,” Pria
lawan bicara Edy mengangkat tangannya dari pohon sukun tempatnya bersandar. Di
tempat telapak tangannya menempel tadi terdapat guratan-guratan panjang pada
kulit pohon sukun. Sepuluh guratan.
“Iya, aku mengguratnya setiap
tahun.”
Pria itu tersenyum.
“Apa senyumanmu berarti kamu
masih sahabatku?” Edy bertanya.
“Saat itu sama seperti
sekarang ini, hujan deras mengguyur desa kita. Namun, aku sempat melihat pipimu
basah ketika aku dibawa pergi dan aku tahu itu bukan air hujan. Melihat itu aku
bertekad, aku akan kembali mencari sahabatku.”
“Artinya,” Edy meminta
penegasan.
“Selamanya,” jawabnya.
“Selamat datang Defos,
sahabatku.”
Hampir dengan kecepatan yang sama,
keduanya maju dan saling berpelukan. Mata Edy berkaca-kaca.
“Kamu masih seperti dulu,
mudah menangis. Lelaki tak boleh menangis. Malu sama badan kekarmu, Ed.”
“Cuma kali ini sejak saat
itu,” Edy membela diri.
Keduanya cekikan sambil
melepas pelukan.
“Apa kabar Elena, adikmu?”
Defos mengalihkan pembicaraan.
“Baik, sehat.”
“Sudah menikah?”
“Belum. Sepertinya masih
menunggumu. Kamu sendiri?”
Defos mengangkat kedua
tangannya, memperlihatkan jari-jarinya; kosong. Tak ada satu pun cincin kawin yang
melingkar. Juga bekasnya.
“Aku masih memegang janji di
masa kecilku bahwa bila tiba waktunya, aku mau Elena jadi istriku. Yah ... bila
Elena mengizinkan.”
“Hmmm ... memiliki ipar
sepertimu?”
“Memang kenapa? Ayolah Ed,”
pinta Defos.
“Itu urusan nanti kalau kamu
bisa menang balap perahu,” tantang Edy
“Ayo, siapa takut?!”
Defos memungut daun kering di sekitar
kakinya. Demikian juga Edy. Keduanya lalu berjalan mendekati selokan, saling
menatap.
“Satu ... dua ... tiga!” Defos
menghitung.
Keduanya serentak melepas
daun-daun di tangan masing-masing, dan secepatnya berlari menyusul mengejar
daun-daun tersebut yang hanyut dibawa air. Mereka tak peduli hujan deras,
lumpur, juga wajah-wajah takjub anak-anak petani melihat tingkah mereka.
Sikumana, 10 Januari 2017
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit CV. Pustaka Tunggal lewat buku Kumpulan Cerpen 'Hujan Kemarin', 2017. ISBN: 978-602-60503-7-3
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit CV. Pustaka Tunggal lewat buku Kumpulan Cerpen 'Hujan Kemarin', 2017. ISBN: 978-602-60503-7-3
No comments:
Post a Comment