Friday, August 10, 2018

Pepaya Aku dan Ayah






Pepaya Aku Dan Ayah
Karya : Marthen Edison


“Sial ...!“ Aku mengumpat. “Aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah dewasa. Ayah juga bukan anak kecil lagi. Tak perlu ada perayaan ulang tahun segala!“
Aku memandang tiket pesawat dan paket liburan ke Beijing di atas meja kerjaku. Besok adalah ulang tahunku. Aku ingin merayakan berdua saja bersama Natalia, kekasihku. Namun keinginan Ayah memaksaku pulang ke rumah tua, rumah turun temurun leluhur Ayah, membuatku badmood.
“Ed, kamu ke rumah kakek ya .... bisa, kan? Ayah dalam perjalanan nih ke sana. Ayah ingin merayakan ulang tahun kita bersama lagi. Ibu dan adik-adik sudah Ayah beritahu dan mereka setuju.“ Terngiang kembali diskusi sepihak di telepon tadi. Nadanya meminta tetapi tetap saja itu berarti perintah.
Ulang tahun aku dan Ayah memang hanya berselisih dua hari. Ayah kelahiran tanggal dua puluh sembilan Agustus dan aku terlahir pada tanggal akhir bulan tersebut. Sejak kelahiranku, Ayah selalu memilih merayakan ulang tahunnya bersama dengan ulang tahunku. Ia menyebutnya ulang tahun ‘kita’. Aku pernah mengusulkan untuk merayakannya pada tanggal tiga puluh Agustus saja, tetapi Ayah menolak dengan dalih pada tanggal tersebut aku belum berulang tahun. Aku tahu, itu hanya caranya supaya aku tidak memiliki alasan menolak ulang tahun ‘kita’.
“Tok ... tok ... tok! “ Pintu ruang kerjaku diketuk.
“Iya, masuk!“
Mbok Darti, pelayan keluarga kami masuk membawa nampan. Wanita lanjut usia yang usianya tidak jauh dari usia ibuku ini juga adalah pengasuhku.
“Pepaya kesukaan Cah Bagus di kebun belakang sudah ada yang matang lagi. Dipetik oleh Pak Andri barusan. Nih, sudah Mbok kupas, potong-potong dan dinginkan sebentar di kulkas seperti biasa sesuai kesukaan Cah Bagus,“ urai Mbok Darti lengkap sambil menaruh sepiring besar potongan pepaya segar di bagian meja kerjaku yang masih kosong belum direbut tempatnya oleh berkas-berkas dokumen kerjaku.
“Terima kasih, Mbok Darti.“ Aku tersenyum padanya.
Mbok Darti balas tersenyum lalu melangkah keluar.
Siang panas seperti saat ini memang cocok bila mengkonsumsi buah-buahan segar. Tak sabar aku meraih garpu dan mulai memasukan beberapa potongan pepaya ke dalam mulutku. Yummy, nikmat banget.
Stop!
Memori di kepalaku menghentikan gerakan menyuap tanganku ke arah mulutku. Sejarah bagaimana pohon pepaya ini hadir dan tumbuh subur di kebun belakang rumah kami perlahan-lahan menyeruak keluar terbayang di mataku.
Tiga belas tahun yang lalu, beberapa hari setelah aku menyelesaikan gelar strata satuku di fakultas pertanian, aku dan Ayah berlomba menanam bibit pepaya di kebun belakang. Waktu itu aku sempat menertawakan Ayah.
“Yah! Ayah seorang pengusaha ekspor impor sukses. Mau makan pepaya tinggal beli saja, berapa duit sih harganya? Buat apa harus capek-capek menanamnya? Ada Pak Andri tukang kebun juga, suruh saja Pak Andri yang menanamnya.“
“Ed, ... menanam, berkebun itu hobi Ayah. Kakekmu petani. Tidak aneh kan kalau Ayah juga berkebun? Aktivitas seperti ini juga suatu hiburan, mengurangi stres. Tidak semua orang dapat melakukannya.“
“Ah, Ayah. Kalau cuma menanam pepaya itu mudah banget,“ bantahku.
“Mudah menurutmu? Ayo, buktikan! Kita bagi jumlah anakan bibit pepaya ini menjadi dua. Kita buktikan siapa yang akan berhasil menananmnya.“
“Oke! Aku seorang sarjana pertanian, pastilah punyaku yang akan tumbuh subur.“ Aku senang sekali dengan menyebut gelar pendidikan yang kuraih, walau motivasi kuliahku di fakultas pertanian hanya untuk dapat dekat dengan Winda, mahasiswi tercantik saat itu.
Sore itu aku dan Ayah menghabiskan waktu bersama cangkul, ember air, anakan bibit pepaya, humus, dan tentu saja lumpur yang mengotori tangan, kaki dan baju kami.
Aku tersenyum mengingat kisah itu.
Ceritanya berlanjut.
Dua hari setelah kami menanam, aku dan Ayah kembali ke halaman belakang rumah untuk melihat perkembangan tanaman-tanaman pepaya kami.
Aku terkejut. Pepayaku layu dan tak ada harapan tumbuh lagi. Berbeda dengan pepaya-pepaya yang ditanami ayah; begitu segar dan hijau. Hidup.
“Apa yang terjadi, Yah? Pasti Ayah curang menaruh sesuatu pada bibit yang aku tanami.“
“Kamu salah, Ed. Tak ada kecurangan di sini.“
“Lalu bagaimana ini bisa terjadi? Semua bibit tanamanku mati.“
“Rahasianya mungkin sederhana. Ayah seorang anak petani dan kamu Ed anak seorang pengusaha. Tangan kita berbeda.“
Aku terpaku. ‘Ayah seorang anak petani dan kamu Ed anak seorang pengusaha’. Kalimat itu begitu sederhana tetapi serasa menamparku, masuk ke relung-relung hatiku.
Semua kebiasaan-kebiasaanku, menganggap hidup begitu mudah satu per satu mendakwaku. Untuk pertama kalinya, secara tiba-tiba aku memeluk Ayah dengan kerinduan yang sangat dalam. Aku tahu Ayah terheran dengan tingkahku.
Ada air mataku menetes. Semoga Ayah tak melihatnya. Penyesalan akan apa yang kuperbuat selama ini.
Malam turun dengan cepat. Keesokan paginya ketika aku kembali ke kebun belakang, aku menemukan dalam lubang-lubang tanaman anakan bibit pepayaku telah tumbuh subur pepaya-pepaya yang luar biasa segar. Sementara pada lubang-lubang buatan Ayah, sudah tak nampak lagi tanaman pepayanya.
“Aku bukan anak kecil lagi, Yah. Aku tahu Ayah menukarnya semalam untuk membuatku senang biar aku tidak malu dengan gelarku. Pepayaku sudah mati, tak mungkin bangkit lagi,“ gumamku sendiri. “Begitu sayangkah Ayah padaku, sehingga ia memberikan jerih payahnya padaku untuk kumiliki dan kunikmati?” Ada air mata kembali bergulir. Siapa bilang lelaki tak boleh menangis?

*****

Kring ... kring ...!
Aku menekan tombol ‘jawab’ di handphone-ku sambil terus berjalan memasuki halaman rumah berpagar bambu.
“Di mana kamu, Ed?“
“Ini sudah di depan pintu rumah kakek.“
“Kamu benaran datang, Ed?“ Ada nada terkejut dalam suara lawan bicaraku.
“Tentu saja, Yah. Untuk ulang tahun ‘kita’,“ jawabku tegas tanpa keraguan.




Diterbitkan pertama kali oleh WA Publisher lewat buku Kumpulan Cerpen 'My Dad My Everything', 2017. ISBN: 978-602-6081-89-6

Aku Masih Sahabatmu









Aku Masih Sahabatmu
Karya: Marthen Edison


Begundal-begundal upahan Pak Hakim memanggul Defos. Mereka terus saja berjalan cepat, tak peduli teriakan dan tangisan histeris Defos meminta diturunkan. Edy hanya bisa menatap kepergian orang-orang yang membawa pergi sahabatnya dengan cara paksa seperti itu. Sudah sering terjadi. Namun, kali ini ada air mata berlinang di pipi Edy. Defos akan pergi selamanya. Disekolahkan ayahnya ke Jakarta, biar pengaruh buruk Edy tidak mempengaruhinya. Itu menurut begundal-begundal Pak Hakim. Sementara Edy sudah seperti saudara bagi Defos karena Defos anak tunggal. Persaingan serta permusuhan antara Pak Hakim; ayah Defos, dan Pak Nestor; ayah Edy, sudah demikian tinggi levelnya sampai persahabatan anak-anak mereka pun dikorbankan.
Pembagian air ke sawah, rebutan rumput di padang untuk ternak, hasutan bawahan masing-masing; pemantik masalah bagi Pak Hakim dan Pak Nestor disamping masalah-masalah sekunder lainnya.
“Selamat jalan, Def. Kamu akan selalu menjadi sahabatku,” ucap Edy lirih lebih mirip menghibur diri sendiri. Dilambaikan tangannya ke arah menghilangnya rombongan pembawa Defos.

*****

Hujan semakin deras. Selokan di pinggiran pematang sawah tak mampu lagi menampung luapan air. Anak-anak petani riuh bermain; menangkap udang hanyut terlempar arus sungai,  menjadi manusia lumpur dalam kubangan, juga berperahu menggunakan batang pisang.
Tak seorang dari anak-anak tersebut mengindahkan kehadiran pria berusia dua puluhan tahun di bawah rimbunan dedaunan pohon sukun.
“Tidak banyak perubahan. Masih seperti sepuluh tahun lalu,” gumamnya.
Tatapan pria itu lurus ke depan; menerobos hujan, menjelajahi waktu. Bayangan masa lalu perlahan-lahan muncul menghampirinya.
Dua bocah sebelas tahun bertelanjang dada berhujan-hujanan berlarian di pematang sawah mengikuti aliran air di selokan yang membawa dua helai daun kering, pengganti perahu dalam lomba balap perahu mereka. Tertawa tanpa beban, termasuk beban permusuhan di antara orangtua mereka. Kedua bocah itu masing-masing adalah anak tuan tanah di desa itu; Defos dan Edy.
“Seandainya bisa terulang lagi,” Kembali pria itu bergumam.
“Bisa. Mengapa tidak?”
Kaget. Pria itu buru-buru menoleh ke sumber suara di belakangnya.
“Edy?!” panggilnya.
“Setiap tahun, di tanggal yang sama saat terakhir kamu pergi dari tempat ini, aku selalu kemari, berharap aku menemukanmu.”
“Aku tahu. Aku melihat ini,” Pria lawan bicara Edy mengangkat tangannya dari pohon sukun tempatnya bersandar. Di tempat telapak tangannya menempel tadi terdapat guratan-guratan panjang pada kulit pohon sukun. Sepuluh guratan.
“Iya, aku mengguratnya setiap tahun.”
Pria itu tersenyum.
“Apa senyumanmu berarti kamu masih sahabatku?” Edy bertanya.
“Saat itu sama seperti sekarang ini, hujan deras mengguyur desa kita. Namun, aku sempat melihat pipimu basah ketika aku dibawa pergi dan aku tahu itu bukan air hujan. Melihat itu aku bertekad, aku akan kembali mencari sahabatku.”
“Artinya,” Edy meminta penegasan.
“Selamanya,” jawabnya.
“Selamat datang Defos, sahabatku.”
Hampir dengan kecepatan yang sama, keduanya maju dan saling berpelukan. Mata Edy berkaca-kaca.
“Kamu masih seperti dulu, mudah menangis. Lelaki tak boleh menangis. Malu sama badan kekarmu, Ed.”
“Cuma kali ini sejak saat itu,” Edy membela diri.
Keduanya cekikan sambil melepas pelukan.
“Apa kabar Elena, adikmu?” Defos mengalihkan pembicaraan.
“Baik, sehat.”
“Sudah menikah?”
“Belum. Sepertinya masih menunggumu. Kamu sendiri?”
Defos mengangkat kedua tangannya, memperlihatkan jari-jarinya; kosong. Tak ada satu pun cincin kawin yang melingkar. Juga bekasnya.
“Aku masih memegang janji di masa kecilku bahwa bila tiba waktunya, aku mau Elena jadi istriku. Yah ... bila Elena mengizinkan.”
“Hmmm ... memiliki ipar sepertimu?”
“Memang kenapa? Ayolah Ed,” pinta Defos.
“Itu urusan nanti kalau kamu bisa menang balap perahu,” tantang Edy
“Ayo, siapa takut?!”
Defos memungut daun kering di sekitar kakinya. Demikian juga Edy. Keduanya lalu berjalan mendekati selokan, saling menatap.
“Satu ... dua ... tiga!” Defos menghitung.
Keduanya serentak melepas daun-daun di tangan masing-masing, dan secepatnya berlari menyusul mengejar daun-daun tersebut yang hanyut dibawa air. Mereka tak peduli hujan deras, lumpur, juga wajah-wajah takjub anak-anak petani melihat tingkah mereka.

Sikumana, 10 Januari 2017 



Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit CV. Pustaka Tunggal lewat buku Kumpulan Cerpen 'Hujan Kemarin', 2017. ISBN: 978-602-60503-7-3

Berburu










B E R B U R U
Karya : Marthen Edison


Ini negeri kaya agraris
Namun, rakyat sulit mengais.
Besok makan apa?
Pertanyaannya selalu terdengar miris mengiba

Ini negeri kaya warisan
Penguasa pesta pora lahap berpangan
Besok makan siapa?
Nafsu kanibal brutal merancap raga

Pasang mata pasang telinga
Rakyat mencari, di mana beras miskin dibagi
Penguasa mencari, lahan mana belum direbut lagi
Sama-sama berburu, antara mangsa dan pemangsa

Ini negeri para kanibal
Pasang mata pasang telinga
Rakyat mati, penguasa pun berpulang ke ajal
Sama-sama berburu, antara surga atau neraka

Kupang, 08 Desember 2016 



Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Poetry Publisher lewat buku Kumpulan Puisi 'Sajak Angin', 2016. ISBN: 978-602-6240-95-8

Puisi-puisi Antologi Puisi #1 Legion Sajak Indonesia



Senja Menarik, Cantik, Unik, dan Romantik
Karya :  Marthen Edison



Senja selalu menarik
Mainan kata sang pujangga, di helai demi helai lembar-lembar lontar
Senja selalu cantik
Mainan kuas sang pelukis di atas kanvas berbingkai kayu
Senja selalu unik
Mainan bidikan sang fotografer di balik tajamnya lensa fokus
Senja selalu antik
Mainan notasi lagu sang musikal dalam rhapsody di penghujung hari.
Senja selalu romantik
Mainan romantisisme kau dan aku

Kupang, 09 November 2016






Hujan, Banjir, dan Cinta
Karya : Marthen Edison



Hujan lagi
Jakarta banjir lagi
Pengungsi berlarian lagi,
menghindari hanyut timbul tenggelam

Kemarin mendungku,
hari ini hujanku
Dalam cinta tak kulari hindari banjir
Biar kuhanyut tenggelam, tak timbul lagi untuk cinta lain

Kupang, 20 Januari 2014 





Kembang-Kembang Flamboyan
Karya: Marthen Edison


Sepe sebutan saudaraku seibu untuknya
Flamboyan namanya

Termangu aku dibuatnya
Mekar kembang-kembang merahnya,
seraya mengundang libido kaum serangga

Flamboyan bukan sakura
Berbeda dalam wujud, aroma, kata, dan rasa
Flamboyan hanyalah bunga,
bagi siapa ia berguna.

Aku terpana,
kembang - kembang flamboyan menari berirama
Angin laksana generator tarian pemujaan mereka,
memuja Sang Pencipta,
kepada siapa semua insan patut berkarsa

Sayangnya,
waktu juga tak berpihak padanya
Kuntum demi kuntum flamboyan gugur jatuh ke pusara,
meninggalkan satu nama
Flamboyan namanya

Kupang, 2016

* Sepe = Flamboyan (bahasa Kupang,NTT) 





Ketika Listrik Padam
Karya : Marthen Edison


Gelap
Listrik padam
Lilin tak ada
Senter pun tak kutemukan
Untung ada pelita buatan kakek

Cahaya remang menerangi ruang sekelilingku
Hatiku tetap gelap gulita
Dimanakah kekasihku, cahayaku?
Pelitaku menunggu;
mubazir

“Putus!”
Kata terakhirmu
Sejak saat itu,
cintaku tiada pedulimu lagi
Padam sudah pelitaku tanpa cahayamu


Kupang, 07 November 2016 





Senja Adalah Kita
Karya :  Marthen Edison


Senja bukan akhir, bukan juga awal
Senja adalah batas
Mengakhiri siang, mengawali malam

Senja bukan terang, bukan pula gelap
Senja adalah pilihan
Menerangi jiwa, menggelapkan raga

Senja bukan merah, bukan kuning
Senja adalah lembayung
Memerahkan cinta, menguningkan cemburu

Senja bukan kamu, bukan aku
Senja adalah kita
Perpaduan kamu dan aku

Kupang, 03 November 2016 




Rimba Bumi Cendana
Karya : Marthen Edison


Di rimbamu aku berkelana,
diantara semak belukar pepohonan gersang aku mencari
Masih adakah tunas-tunas muda mencuat dari tanahmu?
Atau kuncup-kuncup bunga tropis rebutan serangga lapar?
Hanya embusan angin panas menyapa membakar kulit
Di manakah mata air surgaku?
Sudah tak terdengar lagi desaunya
Aku kering berdahaga

Rimba bumi cendana namamu
Pada dahan-dahanmu aku bergantung
Pada ranting-rantingmu aku menangis
Marmer dan mangan melukaimu
Menyebar kelaparan menyusu nanah kerakusan
Jelaga napasmu, debu riasanmu
Panggillah aku ke pangkuanmu;
menikmati kenangan hijaunya masa lalu,
menguping lagi riuhnya penghuni telaga bercanda
Sebelum kulihat dirimu terseok-seok,
perlahan tapi pasti:
Mati

Kupang, 2016



Dia Bukan Donut
Karya : Marthen Edison


Dia bukan donut hanya suka donut
Jangan panggil dia donut; kuakan cemberut

Dia cantik, mungil dan bulat;
seperti donut
Melihatnya hilanglah penat

Dia bukan donut
Dia adikku si pengurai kabel kusut,
pelahap donut
Dalam kasih kami terikat,
menyatu tertawa redalah sakit

Jangan panggil dia donut
Untuknya kicau burung gereja bersahut,
riuh bernyanyi mengkidungkan; dia bukan donut



Kupang, 27 Oktober 2016




Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Poetry Publisher lewat buku Kumpulan Puisi 'Legion Sajak Indonesia, Antologi Puisi #1', 2016. ISBN: 978-602-6240-84-2

Sunday, June 17, 2018

Kotak Makan Siang



Kotak Makan Siang
Karya: Marthen Edison


Semua mata memandang ke arahku. Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Dengan santai aku terus melahap makanan dalam kotak makan siangku.
“Rian,” Rita menyapa.
“Iya,” jawabku.
“Menu makan siangmu hari ini cuma nasi putih, sepotong ikan goreng, dan beberapa potong buah mentimun segar namun kamu begitu lahapnya. Kamu tidak sakit, kan?” Rita mengomentari isi kotak makan siangku hari ini.
“Iya, Rian. Dan kamu terlihat begitu santai serta tidak malu membuka kotak makan siangmu di depan kami. Aku pernah membawa makan siang dengan menu mie goreng dan telur ceplok. Kurasa menu itu sedikit lebih di atas tingkatannya dari menu makan siangmu hari ini tapi itu sudah membuatku malu setengah mati. Kalian ingatkan dua hari lalu aku tidak makan siang bersama kalian?” Riko ikut menimpali.
Angelina, Darmawan, dan Desi ikut-ikutan melongo mengintip isi kotak makan siangku. Aku tersenyum. Sindrom makan siang – Kebiasaan membandingkan menu bila makan siang bersama di pantry.
“Aku tidak sakit. Mengapa juga harus malu? Ini rahmat TUHAN bagiku siang ini. Ini jauh lebih baik dari orang lain di luar sana yang belum tentu dapat makan siang sekarang. Dan kalian tidak tahu, bukan soal menunya, tetapi di dalam kotak makan siang ini terdapat beribu-ribu bahkan berjuta cinta dari seseorang.” jelasku.
“Ha??!!” Koor teman-teman kerjaku serempak dan keheranan belum mengerti.
“Ini persembahan cinta ibuku buatku hari ini. Setiap hari ia bangun lebih pagi dari aku dan ayah untuk menyiapkan sarapan dan bekal makan siang buat kami sementara aku dan ayah masih tidur, padahal setiap malam ibuku juga tidur paling larut. Ia harus membereskan sisa makan malam dan lainnya. Pagi tadi ibu kurang sehat. Namun ia berkeras tetap melakukan baktinya itu. Aku bisa merasakan keikhlasan cintanya lewat semua itu. Menurut kalian, apa aku harus malu untuk karya ibu ini?”
Teman-temanku terdiam mendengar penuturanku. Di antara kaum Hawa malah ada yang berlinangkan air mata.
Aku melahap potongan mentimun terakhir dari makanan menu makan siangku, kembali tersenyum pada mereka dan berlalu ke ruang kerjaku, tanpa menunggu jawaban mereka atas pertanyaanku.
Entah mengapa hari ini aku ingin cepat pulang dan memeluk ibu. Ada haru menohok rongga dadaku. Aku rindu ibu. Menaruh kepalaku di pangkuannya, bermanja padanya seperti anak kecil lagi.
“Terima kasih, ibu.” bisikku pada angin di luar jendela ruang kerjaku, berharap angin membawanya kepada ibu, ungkapan yang sering lupa kuucapkan itu.

Kupang, 2016


Diterbitkan pertama kali oleh WA Publisher lewat buku Kumpulan Cerpen 'Mengikhlaskanmu Dalam Hujan', 2017. ISBN: 978-602-6622-42-6

Saturday, June 16, 2018

Pengusung Keranda Hutan Malaka




Pengusung Keranda Hutan Malaka
Karya: Marthen Edison


Bayu mengucak-ngucak matanya menggunakan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih menyetir mobil. Yanti asyik mengunyah ayam goreng bekal perjalanan mereka. Novi dan Dece duduk di kursi penumpang bagian tengah antara sadar atau telah terbang ke pulau mimpi. Demikian juga Ito, penghuni kursi penumpang paling belakang.
“Ada yang tidak beres,“ Bayu bergumam.
“Apanya?“ Yanti menyambung.
“Ini seperti bukan jalan menuju Malaka.“ Bayu kembali mengucak matanya dan sedikit memajukan badannya melihat keluar.
“Perasaanmu saja, Bayu. Mungkin karena sudah malam makanya kamu sedikit tidak terbiasa dengan rutenya.“
Bayu terbiasa melakukan perjalanan ke Malaka, kabupaten baru di Pulau Timor. Pekerjaannya sebagai sopir mobil rental membuatnya mengenali rute yang sering ia lewati dengan baik. Namun kali ini sebagaimana pengakuannya, perjalanan kami adalah perjalanan tengah malam pertama untuk ia mengantar penumpang ke Malaka. Sebenarnya rombongan kami akan berangkat pagi tadi bila jadwal meeting Dece di kantornya tidak berubah tiba-tiba. Kami tetap memaksa berangkat malam karena besok acara nikahnya Randy teman kami yang menyunting gadis Malaka.
“Kalau kamu memang ragu, kita tanyakan saja pada orang yang kita temui di jalan,“ Yanti memberi solusi.
“Mana ada orang masih berada di jalan tengah malam begini? Lagian ...,“ suara Bayu terdengar bergetar, mengkhawatirkan sesuatu.
Belum selesai Bayu melanjutkan kata-katanya, dalam jarak kurang lebih tiga meter di depan mobil mereka nampak serombongan orang tersorot cahaya lampu besar mobil. Rombongan orang tersebut terdiri dari delapan orang yang sedang mengusung keranda ditutupi kain hitam.
“Itu ada orang, kita tanya mereka.“ Bayu melambatkan laju mobil dan mulai menepi. Yanti menurunkan kaca pintu mobil di dekat duduknya.
“Pak, mau tanya. Ini benar jalan menuju Malaka?“ tanya Yanti dengan mulut masih mengunyah makanannya.
Pengusung keranda paling depan menatap Yanti, lalu ia menunjuk ke arah depan dengan tangannya yang tidak mengusung keranda tanpa mengucapkan sesuatu. Yanti tersenyum, berarti kekhawatiran Bayu tidak beralasan. Arah jalan mereka sudah benar. Yanti mengucapkan terima kasih kepada para pengusung keranda dan kembali menaikan kaca mobil.
“Lanjut, Bro!“ perintah Yanti pada Bayu.
Bayu pun kembali menginjak pedal gas melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, Bayu tetap merasakan ada kejanggalan. Jalan ini begitu sepi, tidak terlihat satu pun rumah penduduk di kiri maupun kanan jalan. Pohon-pohon besar menjadi pemandangannya. Suara pungguk terus terdengar ditemani embusan angin dingin. Belum lagi mereka baru saja berpapasan dengan rombongan pengusung keranda, tengah malam. Bulu kuduknya mulai merinding.
“Aduh ...!!!“ Serentak Yanti, Novi, Dece dan Ito mengaduh, kaget.
Mobil melalui jalan menurun dan berbatu. Semua penumpang kaget. Tidak terkecuali yang tidur. Mimpi buyar seketika. Bayu ikutan kaget. Ia tersadar dari analisa pikirannya akan segala keanehan.
“Bayu! Apa-apaan nih? Kamu tidur atau menyetir?“ Novi cemberut.
“Maaf, aku tidak sengaja. Aku tidak melihat kalau jalan ini menurun.“ Bayu menarik napas beberapa kali.
“Kita sudah tiba di mana?“ Giliran Dece bertanya.
“Kita tersesat. Aku yakin itu. Aku akan memutar mobil dan kita kembali ke pertigaan sebelumnya, pertigaan di mana terlihat ada beberapa rumah penduduk saat kita melewatinya dua jam lalu. Di sini hutan, bukan jalan biasa kulewati.“ Bayu meneruskan kalimatnya dengan segera memutar kemudi untuk berbalik arah.
“Benarkah? Bukankah orang-orang tadi menunjuk kalau arah kita sudah benar?“ Yanti memprotes.
“Mereka menunjuk, bukan berkata membenarkan. Kamu tidak merasakan ada keanehan? Wajah mereka pucat, mengusung keranda pula. Tengah malam, Yan, ....“
“Apa ...?!!!“ pekik Novi, Dece dan Ito.
Belum Yanti atau Bayu menjelaskan lebih jauh tentang para pengusung keranda, mobil terguncang oleh bebatuan jalan dan tidak dapat melaju naik.
Walau Bayu telah menginjak penuh pedal gas, kedua ban belakang mobil hanya berputar di tempat dan mulai membuat lubang di tanah becek. Rupa-rupanya gerimis mulai turun, membasahi jalan sehingga batu-batu besar penyokong jalan kampung belum diaspal itu menjadi makin licin. Bayu mematikan mesin mobil, kemudian ia membuka pintu mobil dan berjalan ke arah belakang mobil. Diambilnya beberapa batu lalu mengganjar kedua ban belakang mobil. Ito turun dari mobil membantunya.
Setelah dirasa cukup, Bayu kembali ke belakang kemudi dan mulai mencoba melaju naik. Tetap saja tak ada perubahan. Yanti, Novi, dan Dece bergegas turun. Ketiganya juga menurunkan bekal mereka untuk mengisi perut sementara kaum lelaki bekerja mengurusi mobil. Belum juga perbekalan dibuka, tiba-tiba angin bertiup lebih kencang. Petir berkelebat di langit, cukup menerangi tempat sekitar mereka beberapa detik. Mereka baru menyadari kalau mereka tidak sendiri. Dalam radius sepelemparan batu di belakang ketiga perempuan telah berdiri lima rombongan pengusung keranda berwajah pucat, sama seperti yang dilihat Bayu dan Yanti.
Serentak Yanti, Novi dan Dece berlari masuk ke mobil sambil berteriak histeris ketakutan.
“Lemparkan semua makanan itu keluar!“ teriak Ito dari belakang mobil.
Ito pun bergegas naik ke mobil. Lalu dengan sigap ia merebut semua makanan dari ketiga teman perempuannya yang masih histeris dan juga kebingungan tak mengerti dengan apa yang ia perintahkan. Ito melemparkan semuanya keluar.
Saat bersamaan Bayu memacu mobilnya untuk melaju di atas jalan tanjakan. Kali ini mobil mulus bergerak naik. Tanpa menunggu lebih lama, di puncak tanjakan Bayu menginjak pedal gas sedalam-dalamnya. Semuanya berlangsung cepat. Mereka pun meninggalkan para pengusung keranda jauh di belakang.
“Aku masih belum mengerti, mengapa semua bekal kita dibuang? Dan siapa mereka sebenarnya?“ Pikiran jernih Dece mengajaknya bertanya.
“Kalian lupa dengan kepercayaan penduduk pulau ini? Tak boleh membawa makanan berupa daging-dagingan apabila menempuh perjalanan malam, apalagi daging mentah atau daging berdarah. Percaya tidak percaya, masyarakat sini mempercayainya turun-temurun. Barusan buktinya. Aku yakin, kelima keranda yang diusung oleh penampakan mahkluk astral penghuni hutan itu adalah keranda untuk kita.“ Ito menutup penjelasannya dengan berdoa.
“Untung ada kamu, To! Kamu masih mengingat cerita mistis itu. Aku sudah merasa ada kejanggalan. Benar, kejanggalan itu berawal dari ketika Yanti melahap ayam goreng,“ timpal Bayu.
Yanti ingin menanggapi kala namanya disebut Bayu tetapi ia mengurungkannya. Mereka baru saja kembali melewati tempat ia menyapa para pengusung keranda waktu ia menanyakan arah. Mata Yanti masih sempat menangkap bila di tepian jalan itu tampak delapan orang seperti tengah duduk istirahat menikmati ayam goreng. Keranda berkain hitam berada tak jauh dari mereka.


Kupang, 15 Desember 2016

Diterbitkan pertama kali oleh Penulis Muda Publisher lewat buku "Misteri di Sekitar Kita", 2016. ISBN: 978-602-633-356-8

Pekuburan Jam Dua Belas




Pekuburan Jam Dua Belas
Karya: Marthen Edison


Rian menarik napas lega. Rumah terakhir. Selesai sudah kunjungannya ke rumah warga-warga Desa Sikumana lokasi tempat tugasnya yang baru untuk minggu ini sekaligus memeriksa pasien-pasien rawat jalan. Kepalanya telah terisi wajah cantik kekasihnya. Ia dapat menepati janjinya kepada Ersa, weekend di kota. Secepat kilat dimasukannya stateskop, alat tensi, dan peralatan kesehatan lainnya ke dalam tas hitamnya.
Udin, anak sebelas tahun navigator alias penunjuk jalan Dokter Rian mengelilingi desa tampak masih semangat berbincang-bincang dengan Eyang Kapulingga, sang ‘dokter tradisional’. Dukun tua itu sebelumnya selalu menghalangi kehadiran Dokter Rian di desa tersebut. Adanya tenaga medis dianggap sebagai pesaing profesinya. Tidak heran bila para tenaga medis sebelumnya satu demi satu angkat koper – juga kaki, dari medan tugas. Seandainya tidak muncul nama Inaya, cucu Eyang Kapulingga sebagai pasien rawat jalan Dokter Rian, enggan pula Dokter Rian meluangkan waktu ke rumah sang dukun.
“Din, ayo kita pulang.” kata Dokter Rian kepada Udin.
“Baiklah Pak Dokter. Ayo!” jawab Udin.
“Eyang Kapulingga, kami pamit dulu ya ... cucu Eyang baik-baik saja, sudah semakin sehat. Terus minumkan obatnya sampai habis dengan air matang tiga kali sehari, pasti akan pulih. Tidak ada yang perlu dirisaukan.” Pamit Dokter Rian.
“Terima kasih, Pak Dokter. Tapi, maaf ..., “ Eyang Kapulingga tidak melanjutkan kalimatnya.
“Ada apa, Eyang? Apa ada yang ingin Eyang tanyakan atau dapat kulakukan sesuatu guna membantu Eyang? Kita patner kerja, bukan saingan. Jangan sungkan.” suara Dokter Rian tulus.
 “Bukan, ... bukan maksudku demikian Pak Dokter. Bukan juga maksudku tidak sopan menghalangi Pak Dokter pergi. Tapi, ini sudah jam dua belas. Sebaiknya Pak Dokter menunggu sebentar. Saya akan menyiapkan makanan, kita makan siang bersama sambil ...”
“Tidak usah repot, Eyang. Aku masih kenyang. Aku juga masih ada agenda lain.” potong Dokter Rian.
“Aduh! Bagaimana menjelaskannya ya?“ Eyang Kapulingga kebingungan sendiri.
“Menjelaskan apa, Eyang?”
“Udin, bantu eyang menjelaskannya pada Pak Dokter!”
“Jelaskan apa, Eyang?” Udin balik bertanya. Bingung.
“Jam dua belas, Din!” Eyang Kapulingga hampir teriak.
Udin mulai berpikir keras akan maksud Eyang Kapulingga.
“Oh, iya! Pak Dokter, ini sudah jam dua belas. Kita menunggu di sini saja dulu.”  Udin meraih tangan Dokter Rian agar kembali duduk.
“Tidak bisa, Din! Aku harus mengejar bus siang ini. Aku ada acara lain di kota.” Dokter Rian menepis tangan Udin.
“Tapi, Pak Dokter ....” Udin menunduk.
“Ini sebenarnya ada apa, sih?” Dokter Rian mulai hilang sabaran.
“Jam dua belas, Pak Dokter!” sahut Udin dan Eyang Kapulingga hampir bersamaan.
“Iya, ada apa dengan jam dua belas?” kejar Dokter Rian.
Udin dan Eyang Kapulingga saling pandang. Eyang Kapulingga memberi isyarat anggukan, mempersilahkan Udin untuk berbicara mewakili mereka berdua.
Hening sejenak. Masing-masing menunggu.
“Jam dua belas, Pak Dokter. Kita tidak bisa pulang melewati pekuburan desa. Kita akan celaka atau bernasib sial.” Udin memulai.
“Ha?! Mengapa begitu?”
 “Kami di sini mempercayai itu. Kami tidak boleh melewati area pekuburan desa antara jam dua belas sampai jam satu siang, saat matahari tepat berada di atas kepala. Sudah banyak kejadian aneh terjadi di sana yang dilihat warga. Seperti serigala hitam bermulut penuh tetesan darah, hantu wanita tanpa wajah,” lanjut Udin.
“Ya, ampun ...! Zaman sekarang masih percaya yang demikian? Itu cuma mitos. Aku beritahu ya ..., yang harus ditakuti itu manusia hidup. Manusia hiduplah yang dapat mencelakai kita; memegang batu melempari kita, atau sekalian menghunus pisau menikam kita. Kuburan apalagi serigala mana bisa memegang batu atau pisau? Lagian, kalau benar ada warga yang melihat hal-hal seperti cerita Udin barusan, aku yakin itu hanya halusinasi. Panas terik dapat memacu darah lebih cepat ke otak sehingga otak dapat memerintahkan organ lain bekerja di luar normal. Misalnya mata, melihat sumber air di gurun pasir padahal itu hanya fatamorgana, ilusi, atau apalah sejenisnya akibat cuaca panas.” bantah Dokter Rian.
“Tapi, Pak Dokter ....” Eyang Kapulingga mencoba menengahi pembicaraan.
“Maaf, Eyang! Tidak ada tapi-tapi! Aku dan Udin juga bisa cari jalan lain untuk kembali tanpa harus melewati pekuburan,“ ketus Dokter Rian.
“Tidak ada jalan lain, Pak Dokter.”  sela Udin.
Dokter Rian menatap tajam dua manusia lawan bicaranya. Ia mencoba menebak isi kepala mereka. Apa benar cerita mereka atau ini sekedar mengada-ada untuk menghalanginya pergi karena ketidaksukaan Eyang Kapulingga padanya. Bukankah tadi mereka berbincang-bincang sementara ia memeriksa Inaya? Ia manusia moderen, tidak mempercayai mitos atau legenda mistis. Mungkin saja mereka sengaja ingin menahannya lalu mencelakainya. Ersa. Ingatannya pada sang kekasih menghentikan semua dugaannya. Waktu terus berjalan.
 “Ayo, Udin. Kita pergi! Aku akan melaporkan kepada bapak Kepala Desa bila kamu tak pergi bersamaku sekarang.” Dokter Rian menarik tangan Udin.
Mendengar ancaman Dokter Rian, Udin membiarkan dirinya ditarik mengikuti langkah Dokter Rian. Tergesa-gesa keduanya meninggalkan kediaman Eyang Kapulingga dan cucunya tanpa berpamitan lagi.
Sepanjang jalan, Dokter Rian tetap saja menggandeng tangan Udin dengan sedikit memaksa karena ia merasakan langkah kaki Udin sengaja diberatkan. Dan Udin akhirnya benar-benar tidak melangkah lagi ketika berada di tengah pekuburan.
“Ayo, Din! Aku bisa terlambat sampai di terminal bus. Seandainya aku sudah terbiasa dengan jalan-jalan di sini, aku juga tidak akan merepotkan kamu.”
“Sebentar! Apa Pak Dokter tidak melihat apa yang ada di depan kita?”
“Apa?” Dokter Rian memalingkan wajahnya mengikuti arah jari telunjuk Udin. Tampak seekor makhluk berbulu hitam tengah tidur di atas sebuah kuburan.
“Hanya seekor anjing, Din.”
“Bukan, Pak Dokter. Aku yakin itu seekor ... se-serigala hi-hitam.” Udin terbata-bata, ketakutan.
“Omong kosong!” teriak Dokter Rian.
“Aku mau kembali ke rumah Eyang Dukun, Pak Dokter. Kita pulang setelah lewat jam tiga belas saja.” pinta Udin.
“Aku yang memerintah. Keputusan di tanganku!” bentak Dokter Rian, kesal.
“Aku mau ke rumah Eyang Kapulingga, Pak Dokter! Huuuh ...,” rengek Udin.
Mendengar rengekan Udin, Dokter Rian naik pitam. Darah di seluruh tubuhnya makin cepat mengalir ke otak.
“Ya, sudah. Kamu kembali saja sendiri. Aku akan tetap melanjutkan perjalanan melewati pekuburan sekarang!” geram Dokter Rian sambil mendorong tubuh kecil Udin sekuat tenaga.
“Akh ...!”
 Dokter Rian terkejut mendengar suara rintihan Udin. Akibat terdorong, Udin kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kepalanya terluka membentur sebuah batu nisan. Darah segar mengucur deras, membasahi makam di dekatnya terjatuh.
“Udin ...! Sadar, Udin!” teriak Dokter Rian.
Bergegas diperiksanya tubuh Udin. Jarinya ditaruh di depan hidung Udin ... tidak ada embusan. Diperiksanya nadi pergelangan tangan Udin ... tidak ada denyutan. Udin sudah tidak bernyawa.
“Udiiin ...!” jerit Dokter Rian sekeras-kerasnya.
“Auuuuu ...!” lengkingan suara serigala terdengar seolah menyahut jeritan Dokter Rian.
Dokter Rian menoleh. Di belakangnya telah berdiri tegak seekor serigala bermulut penuh tetesan darah.
“Serigala, bukan seekor anjing.” gumamnya.
Dokter Rian melirik jam tangannya.
Jam 12.47. Tiga belas menit lagi menuju  jam 13.00.


Kupang, 10 September 2017



(Terbit di Harian Umum ‘Victory News’ Edisi Minggu, 10 Desember 2017 Halaman 14)