Sunday, June 17, 2018

Kotak Makan Siang



Kotak Makan Siang
Karya: Marthen Edison


Semua mata memandang ke arahku. Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Dengan santai aku terus melahap makanan dalam kotak makan siangku.
“Rian,” Rita menyapa.
“Iya,” jawabku.
“Menu makan siangmu hari ini cuma nasi putih, sepotong ikan goreng, dan beberapa potong buah mentimun segar namun kamu begitu lahapnya. Kamu tidak sakit, kan?” Rita mengomentari isi kotak makan siangku hari ini.
“Iya, Rian. Dan kamu terlihat begitu santai serta tidak malu membuka kotak makan siangmu di depan kami. Aku pernah membawa makan siang dengan menu mie goreng dan telur ceplok. Kurasa menu itu sedikit lebih di atas tingkatannya dari menu makan siangmu hari ini tapi itu sudah membuatku malu setengah mati. Kalian ingatkan dua hari lalu aku tidak makan siang bersama kalian?” Riko ikut menimpali.
Angelina, Darmawan, dan Desi ikut-ikutan melongo mengintip isi kotak makan siangku. Aku tersenyum. Sindrom makan siang – Kebiasaan membandingkan menu bila makan siang bersama di pantry.
“Aku tidak sakit. Mengapa juga harus malu? Ini rahmat TUHAN bagiku siang ini. Ini jauh lebih baik dari orang lain di luar sana yang belum tentu dapat makan siang sekarang. Dan kalian tidak tahu, bukan soal menunya, tetapi di dalam kotak makan siang ini terdapat beribu-ribu bahkan berjuta cinta dari seseorang.” jelasku.
“Ha??!!” Koor teman-teman kerjaku serempak dan keheranan belum mengerti.
“Ini persembahan cinta ibuku buatku hari ini. Setiap hari ia bangun lebih pagi dari aku dan ayah untuk menyiapkan sarapan dan bekal makan siang buat kami sementara aku dan ayah masih tidur, padahal setiap malam ibuku juga tidur paling larut. Ia harus membereskan sisa makan malam dan lainnya. Pagi tadi ibu kurang sehat. Namun ia berkeras tetap melakukan baktinya itu. Aku bisa merasakan keikhlasan cintanya lewat semua itu. Menurut kalian, apa aku harus malu untuk karya ibu ini?”
Teman-temanku terdiam mendengar penuturanku. Di antara kaum Hawa malah ada yang berlinangkan air mata.
Aku melahap potongan mentimun terakhir dari makanan menu makan siangku, kembali tersenyum pada mereka dan berlalu ke ruang kerjaku, tanpa menunggu jawaban mereka atas pertanyaanku.
Entah mengapa hari ini aku ingin cepat pulang dan memeluk ibu. Ada haru menohok rongga dadaku. Aku rindu ibu. Menaruh kepalaku di pangkuannya, bermanja padanya seperti anak kecil lagi.
“Terima kasih, ibu.” bisikku pada angin di luar jendela ruang kerjaku, berharap angin membawanya kepada ibu, ungkapan yang sering lupa kuucapkan itu.

Kupang, 2016


Diterbitkan pertama kali oleh WA Publisher lewat buku Kumpulan Cerpen 'Mengikhlaskanmu Dalam Hujan', 2017. ISBN: 978-602-6622-42-6

No comments:

Post a Comment