Kotak Makan Siang
Karya: Marthen Edison
Semua mata memandang ke
arahku. Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Dengan santai aku terus melahap
makanan dalam kotak makan siangku.
“Rian,” Rita menyapa.
“Iya,” jawabku.
“Menu makan siangmu hari ini
cuma nasi putih, sepotong ikan goreng, dan beberapa potong buah mentimun segar
namun kamu begitu lahapnya. Kamu tidak sakit, kan?” Rita mengomentari isi kotak
makan siangku hari ini.
“Iya, Rian. Dan kamu terlihat begitu
santai serta tidak malu membuka kotak makan siangmu di depan kami. Aku pernah
membawa makan siang dengan menu mie goreng dan telur ceplok. Kurasa menu itu
sedikit lebih di atas tingkatannya dari menu makan siangmu hari ini tapi itu
sudah membuatku malu setengah mati. Kalian ingatkan dua hari lalu aku tidak
makan siang bersama kalian?” Riko ikut menimpali.
Angelina, Darmawan, dan Desi
ikut-ikutan melongo mengintip isi kotak makan siangku. Aku tersenyum. Sindrom makan siang – Kebiasaan membandingkan
menu bila makan siang bersama di pantry.
“Aku tidak sakit. Mengapa juga
harus malu? Ini rahmat TUHAN bagiku siang ini. Ini jauh lebih baik dari orang
lain di luar sana yang belum tentu dapat makan siang sekarang. Dan kalian tidak
tahu, bukan soal menunya, tetapi di dalam kotak makan siang ini terdapat
beribu-ribu bahkan berjuta cinta dari seseorang.” jelasku.
“Ha??!!” Koor teman-teman
kerjaku serempak dan keheranan belum mengerti.
“Ini persembahan cinta ibuku
buatku hari ini. Setiap hari ia bangun lebih pagi dari aku dan ayah untuk
menyiapkan sarapan dan bekal makan siang buat kami sementara aku dan ayah masih
tidur, padahal setiap malam ibuku juga tidur paling larut. Ia harus membereskan
sisa makan malam dan lainnya. Pagi tadi ibu kurang sehat. Namun ia berkeras
tetap melakukan baktinya itu. Aku bisa merasakan keikhlasan cintanya lewat
semua itu. Menurut kalian, apa aku harus malu untuk karya ibu ini?”
Teman-temanku terdiam
mendengar penuturanku. Di antara kaum Hawa malah ada yang berlinangkan air
mata.
Aku melahap potongan mentimun
terakhir dari makanan menu makan siangku, kembali tersenyum pada mereka dan
berlalu ke ruang kerjaku, tanpa menunggu jawaban mereka atas pertanyaanku.
Entah mengapa hari ini aku
ingin cepat pulang dan memeluk ibu. Ada haru menohok rongga dadaku. Aku rindu
ibu. Menaruh kepalaku di pangkuannya, bermanja padanya seperti anak kecil lagi.
“Terima kasih, ibu.” bisikku pada angin di luar jendela ruang kerjaku,
berharap angin membawanya kepada ibu, ungkapan yang sering lupa kuucapkan itu.Kupang, 2016
Diterbitkan pertama kali oleh WA Publisher lewat buku Kumpulan Cerpen 'Mengikhlaskanmu Dalam Hujan', 2017. ISBN: 978-602-6622-42-6
No comments:
Post a Comment