Saturday, June 16, 2018

Pekuburan Jam Dua Belas




Pekuburan Jam Dua Belas
Karya: Marthen Edison


Rian menarik napas lega. Rumah terakhir. Selesai sudah kunjungannya ke rumah warga-warga Desa Sikumana lokasi tempat tugasnya yang baru untuk minggu ini sekaligus memeriksa pasien-pasien rawat jalan. Kepalanya telah terisi wajah cantik kekasihnya. Ia dapat menepati janjinya kepada Ersa, weekend di kota. Secepat kilat dimasukannya stateskop, alat tensi, dan peralatan kesehatan lainnya ke dalam tas hitamnya.
Udin, anak sebelas tahun navigator alias penunjuk jalan Dokter Rian mengelilingi desa tampak masih semangat berbincang-bincang dengan Eyang Kapulingga, sang ‘dokter tradisional’. Dukun tua itu sebelumnya selalu menghalangi kehadiran Dokter Rian di desa tersebut. Adanya tenaga medis dianggap sebagai pesaing profesinya. Tidak heran bila para tenaga medis sebelumnya satu demi satu angkat koper – juga kaki, dari medan tugas. Seandainya tidak muncul nama Inaya, cucu Eyang Kapulingga sebagai pasien rawat jalan Dokter Rian, enggan pula Dokter Rian meluangkan waktu ke rumah sang dukun.
“Din, ayo kita pulang.” kata Dokter Rian kepada Udin.
“Baiklah Pak Dokter. Ayo!” jawab Udin.
“Eyang Kapulingga, kami pamit dulu ya ... cucu Eyang baik-baik saja, sudah semakin sehat. Terus minumkan obatnya sampai habis dengan air matang tiga kali sehari, pasti akan pulih. Tidak ada yang perlu dirisaukan.” Pamit Dokter Rian.
“Terima kasih, Pak Dokter. Tapi, maaf ..., “ Eyang Kapulingga tidak melanjutkan kalimatnya.
“Ada apa, Eyang? Apa ada yang ingin Eyang tanyakan atau dapat kulakukan sesuatu guna membantu Eyang? Kita patner kerja, bukan saingan. Jangan sungkan.” suara Dokter Rian tulus.
 “Bukan, ... bukan maksudku demikian Pak Dokter. Bukan juga maksudku tidak sopan menghalangi Pak Dokter pergi. Tapi, ini sudah jam dua belas. Sebaiknya Pak Dokter menunggu sebentar. Saya akan menyiapkan makanan, kita makan siang bersama sambil ...”
“Tidak usah repot, Eyang. Aku masih kenyang. Aku juga masih ada agenda lain.” potong Dokter Rian.
“Aduh! Bagaimana menjelaskannya ya?“ Eyang Kapulingga kebingungan sendiri.
“Menjelaskan apa, Eyang?”
“Udin, bantu eyang menjelaskannya pada Pak Dokter!”
“Jelaskan apa, Eyang?” Udin balik bertanya. Bingung.
“Jam dua belas, Din!” Eyang Kapulingga hampir teriak.
Udin mulai berpikir keras akan maksud Eyang Kapulingga.
“Oh, iya! Pak Dokter, ini sudah jam dua belas. Kita menunggu di sini saja dulu.”  Udin meraih tangan Dokter Rian agar kembali duduk.
“Tidak bisa, Din! Aku harus mengejar bus siang ini. Aku ada acara lain di kota.” Dokter Rian menepis tangan Udin.
“Tapi, Pak Dokter ....” Udin menunduk.
“Ini sebenarnya ada apa, sih?” Dokter Rian mulai hilang sabaran.
“Jam dua belas, Pak Dokter!” sahut Udin dan Eyang Kapulingga hampir bersamaan.
“Iya, ada apa dengan jam dua belas?” kejar Dokter Rian.
Udin dan Eyang Kapulingga saling pandang. Eyang Kapulingga memberi isyarat anggukan, mempersilahkan Udin untuk berbicara mewakili mereka berdua.
Hening sejenak. Masing-masing menunggu.
“Jam dua belas, Pak Dokter. Kita tidak bisa pulang melewati pekuburan desa. Kita akan celaka atau bernasib sial.” Udin memulai.
“Ha?! Mengapa begitu?”
 “Kami di sini mempercayai itu. Kami tidak boleh melewati area pekuburan desa antara jam dua belas sampai jam satu siang, saat matahari tepat berada di atas kepala. Sudah banyak kejadian aneh terjadi di sana yang dilihat warga. Seperti serigala hitam bermulut penuh tetesan darah, hantu wanita tanpa wajah,” lanjut Udin.
“Ya, ampun ...! Zaman sekarang masih percaya yang demikian? Itu cuma mitos. Aku beritahu ya ..., yang harus ditakuti itu manusia hidup. Manusia hiduplah yang dapat mencelakai kita; memegang batu melempari kita, atau sekalian menghunus pisau menikam kita. Kuburan apalagi serigala mana bisa memegang batu atau pisau? Lagian, kalau benar ada warga yang melihat hal-hal seperti cerita Udin barusan, aku yakin itu hanya halusinasi. Panas terik dapat memacu darah lebih cepat ke otak sehingga otak dapat memerintahkan organ lain bekerja di luar normal. Misalnya mata, melihat sumber air di gurun pasir padahal itu hanya fatamorgana, ilusi, atau apalah sejenisnya akibat cuaca panas.” bantah Dokter Rian.
“Tapi, Pak Dokter ....” Eyang Kapulingga mencoba menengahi pembicaraan.
“Maaf, Eyang! Tidak ada tapi-tapi! Aku dan Udin juga bisa cari jalan lain untuk kembali tanpa harus melewati pekuburan,“ ketus Dokter Rian.
“Tidak ada jalan lain, Pak Dokter.”  sela Udin.
Dokter Rian menatap tajam dua manusia lawan bicaranya. Ia mencoba menebak isi kepala mereka. Apa benar cerita mereka atau ini sekedar mengada-ada untuk menghalanginya pergi karena ketidaksukaan Eyang Kapulingga padanya. Bukankah tadi mereka berbincang-bincang sementara ia memeriksa Inaya? Ia manusia moderen, tidak mempercayai mitos atau legenda mistis. Mungkin saja mereka sengaja ingin menahannya lalu mencelakainya. Ersa. Ingatannya pada sang kekasih menghentikan semua dugaannya. Waktu terus berjalan.
 “Ayo, Udin. Kita pergi! Aku akan melaporkan kepada bapak Kepala Desa bila kamu tak pergi bersamaku sekarang.” Dokter Rian menarik tangan Udin.
Mendengar ancaman Dokter Rian, Udin membiarkan dirinya ditarik mengikuti langkah Dokter Rian. Tergesa-gesa keduanya meninggalkan kediaman Eyang Kapulingga dan cucunya tanpa berpamitan lagi.
Sepanjang jalan, Dokter Rian tetap saja menggandeng tangan Udin dengan sedikit memaksa karena ia merasakan langkah kaki Udin sengaja diberatkan. Dan Udin akhirnya benar-benar tidak melangkah lagi ketika berada di tengah pekuburan.
“Ayo, Din! Aku bisa terlambat sampai di terminal bus. Seandainya aku sudah terbiasa dengan jalan-jalan di sini, aku juga tidak akan merepotkan kamu.”
“Sebentar! Apa Pak Dokter tidak melihat apa yang ada di depan kita?”
“Apa?” Dokter Rian memalingkan wajahnya mengikuti arah jari telunjuk Udin. Tampak seekor makhluk berbulu hitam tengah tidur di atas sebuah kuburan.
“Hanya seekor anjing, Din.”
“Bukan, Pak Dokter. Aku yakin itu seekor ... se-serigala hi-hitam.” Udin terbata-bata, ketakutan.
“Omong kosong!” teriak Dokter Rian.
“Aku mau kembali ke rumah Eyang Dukun, Pak Dokter. Kita pulang setelah lewat jam tiga belas saja.” pinta Udin.
“Aku yang memerintah. Keputusan di tanganku!” bentak Dokter Rian, kesal.
“Aku mau ke rumah Eyang Kapulingga, Pak Dokter! Huuuh ...,” rengek Udin.
Mendengar rengekan Udin, Dokter Rian naik pitam. Darah di seluruh tubuhnya makin cepat mengalir ke otak.
“Ya, sudah. Kamu kembali saja sendiri. Aku akan tetap melanjutkan perjalanan melewati pekuburan sekarang!” geram Dokter Rian sambil mendorong tubuh kecil Udin sekuat tenaga.
“Akh ...!”
 Dokter Rian terkejut mendengar suara rintihan Udin. Akibat terdorong, Udin kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kepalanya terluka membentur sebuah batu nisan. Darah segar mengucur deras, membasahi makam di dekatnya terjatuh.
“Udin ...! Sadar, Udin!” teriak Dokter Rian.
Bergegas diperiksanya tubuh Udin. Jarinya ditaruh di depan hidung Udin ... tidak ada embusan. Diperiksanya nadi pergelangan tangan Udin ... tidak ada denyutan. Udin sudah tidak bernyawa.
“Udiiin ...!” jerit Dokter Rian sekeras-kerasnya.
“Auuuuu ...!” lengkingan suara serigala terdengar seolah menyahut jeritan Dokter Rian.
Dokter Rian menoleh. Di belakangnya telah berdiri tegak seekor serigala bermulut penuh tetesan darah.
“Serigala, bukan seekor anjing.” gumamnya.
Dokter Rian melirik jam tangannya.
Jam 12.47. Tiga belas menit lagi menuju  jam 13.00.


Kupang, 10 September 2017



(Terbit di Harian Umum ‘Victory News’ Edisi Minggu, 10 Desember 2017 Halaman 14)

No comments:

Post a Comment