Friday, April 10, 2020

Antara Kopi Langit dan Pelangi Aurora











Antara Kopi Langit dan Pelangi Aurora
Karya: Marthen Edison


Langit dan Aurora duduk terdiam di hadapan Pak Guruh, ayah Aurora. Keduanya tak berani memulai pembicaraan atau mengangkat wajah sebelum ada reaksi Pak Guruh akan kehadiran mereka.
Baju Langit mulai dibasahi oleh keringatnya sendiri, resah. Ia merasa seperti terdakwa di suatu sidang peradilan. Seandainya ada pilihan, ia akan menunda pertemuan ini atau berlari pergi menjauh selamanya. Namun ia harus melakukannya sebagai bukti perjuangan cintanya kepada Aurora. Ia sudah bertekad akan terus berjuang sampai hati ayah calon istrinya luluh dan merestui hubungan mereka menggapai pelaminan.
Aurora meremas jemari tangan kiri dan tangan kanannya bergantian. Ia pun sama gelisahnya dengan Langit. Ia sangat mengenal ayahnya. Bila sudah marah atau membenci seseorang, maka akan sulit termaafkan dalam arti sebenarnya. Mulut boleh berkata ‘maaf diterima’ tetapi tidak di relung hati.
“Baiklah. Apa yang bisa kamu katakan, Langit?” suara Pak Guruh memecah kesunyian di antara mereka yang terdengar bagai bunyi guruh pada langit cerah di gendang telinga Langit.
Di luar rintik mulai turun bersamaan cucuran butiran peluh dari kening Langit. Kaki Aurora di bawah meja menyenggol kaki Langit sebagai isyarat untuk segera berkata-kata sebelum ayahnya gusar menunggu.

*****


“Kalian berdua yakin untuk naik pelaminan?” tanya Pak Guruh.
“Yakin, Om!” jawab Langit cepat.
“Aurora?” tanya Pak Guruh lagi.
Aurora menatap ayahnya dan Langit bergantian sebelum menjawab. Kesalahan.
“Yakin, Yah,” lirih suara Aurora.
Pak Guruh menarik napas panjang lalu mengembusnya perlahan. Air mukanya tetap sama, menimbulkan keringat dingin di balik kemeja biru keberuntungan Langit.
“Ayah mendengar ada getaran dalam jawabanmu, Aurora. Seperti tersirat masih ada keraguan,” Pak Guruh mengawali analisanya.
“Tapi Ayah, bukan begitu maksud Auro …,” bantah Aurora terpotong oleh lambaian tangan ayahnya menyuruh diam, untuk tidak melanjutkan kalimat bantahannya.
“Kamu Langit, apa kesukaanmu?”
“Kopi, Om!” tegas Langit tanpa keraguan. Ia yakin kali ini bakal mendapat senyum atau reaksi positif dari calon mertua laki-lakinya itu. Kesukaan mereka sama, bocoran dari putri Pak Guruh sendiri.
“Tubruk?”
“Iya, Om. Hitam pekat.”
“Hmmm …. Aku tidak berpanjang kata lagi. Langit, … Om ingin mendengar apa pendapatmu tentang pelangi karena Aurora sejak kecil senang sekali melihat pelangi,” titah halus Pak Guruh kepada Langit sebelum matanya beralih pandang menuju putri tunggalnya. “Dan kamu, Aurora … apa pendapatmu tentang kopi tubruk kesukaan calon menantu Ayah yang kau bawa ini. Tidak perlu jawab sekarang! Besok kita bertemu lagi di tempat ini untuk kalian paparkan pendapat kalian masing-masing. Satu hal lagi. Selama waktu berpikir, kalian juga tak boleh bertemu atau berkomunikasi lewat media apapun. Awas, bila mencoba melanggarnya!”
Aurora terkejut. Bantahan baru saja akan kembali dilontarkannya, tetapi Langit meraih tangannya guna meredakan emosi Aurora.
“Aurora! Kamu masuk kamar sekarang dan tak boleh keluar rumah sampai besok!” perintah Pak Guruh.
Aurora menatap tajam ayahnya. Sorotan matanya seakan ingin membelah gunung. Kemudian ia melirik Langit. Yang dilirik mengangguk. Aurora beranjak bangun menyusuri ruang keluarga dari rumah besar Pak Guruh menuju kamarnya.

*****


Disenggol kakinya, Langit segera menepis durasi jeda.
“Pelangi terbentuk dari pembiasan cahaya matahari oleh titik-titik air di udara. Pelangi sering muncul setelah hujan reda atau curah hujan berkapasitas kecil seperti gerimis. Ada aliran kepercayaan tertentu berpendapat bahwa pelangi adalah tanda kecintaan Sang Pencipta bagi manusia agar tidak menurunkan hujan besar berhari-hari lagi sebagai penyebab air bah sebagaimana terjadi pada masa Nabi Nuh. Manusia kekinian lebih melihat pelangi sebagai kiasan harapan baru. Keindahan setelah mendung hitam, setelah ujian hujan badai kehidupan,” papar Langit lancar mengulangi isi salah satu artikel hasil browsing-nya kemarin. Ia berharap penjelasan sedikit berbau ilmiahnya akan mendapat nilai ‘A+’ dari Profesor Guruh Satrio.
Keliru. Sang profesor tetap bersikap wajar, bergeming.
“Pendapatmu, Aurora.”
“Ayah, … melihat banyak sekali variasi kopi sekarang, kopi tubruk adalah kiasan sederhana. Hanya satu warna, hitam. Namun sangat kuat rasa serta aromanya. Kopi tubruk juga merupakan keaslian kopi, gula satu-satunya penyedap rasanya. Ketika diminum, manis di awal tetapi berakhir pahitnya ampas. Berbeda jauh dari varian seperti kopi susu, latte, mocacino, capucino, atau lainnya.”
Pak Guruh menatap kedua insan muda di hadapannya.
“Kopi tubruk dan pelangi, sama-sama terkait dengan warna hitam. Belum ada kopi tubruk berwarna selain hitam. Pelangi muncul setelah awan hitam. Kopi tubruk simbol manis kehidupan mendahului kepahitan. Sedangkan pelangi sebaliknya, manis yang muncul kemudian setelah kepahitan. Pelangi berwarna-warni, kopi tubruk hanya satu warna. Sungguh bertolak belakang. Bila demikian, beritahu aku bagaimana kalian berdua akan menyatukan kopi dan pelangi?”
Wajah Langit dan Aurora sontak berubah pucat, mereka tidak siap dengan pertanyaan susulan Pak Guruh. Panik. Berpikir cepat.
“Kalian tidak bisa menjawab?” Senyum Pak Guruh merekah penuh kemenangan terlukis sempurna.
“Papa, … ayo! Semuanya sudah siap. Masih gerimis tetapi ‘yang ditunggu’ sudah datang,” panggil Ibu Mega, istri Pak Guruh menyela pembicaraan.
“Kalian ikut aku.” Permintaan bernada perintah Pak Guruh kepada Langit dan Aurora. Keduanya patuh menguntit Pak Guruh.
Setibanya di beranda samping, udara dingin menerpa tubuh mereka. Berempat mengelilingi meja kecil tempat tersajinya kopi hitam dan sepiring pisang goreng panas.
“Lihatlah! Pelangi telah muncul. Kita minum kopi sambil menikmati pelangi. Inilah salah satu cara menyatukan kopi dan pelangi. Kalian tidak berpikir aku akan memisahkan kalian lewat ujian kecil filosofi kopi tubruk juga pelangi, bukan? Dengan datangnya pelangi dapat berarti alam mendukung kalian. Tidak ada alasan aku untuk menghalangi niat baik,” ujar Pak Guruh sambil mengangkat secangkir kopi mendekati mulutnya. Cairan hitam kental mengaliri kerongkongannya.
Kaget. Embusan napas Langit terdengar keras; lega. Aurora bangkit memeluk ayahnya, haru senang campur aduk bergemuruh di benaknya.
“Ayah nakal! Jahat! Aurora sejak kemarin kesal bercampur takut. Ayah seperti bukan sosok yang dikenal Aurora selama ini,” rengek Aurora manja di bahu ayahnya.
“Apa kamu berpikir ayah tidak menginginkanmu bahagia, Aurora?” balas Pak Guruh sambil membelai rambut anaknya.
Ibu Mega tertawa.
“Eit! Ibu tidak ikut-ikutan,” ucap Ibu Mega ketika Aurora melotot padanya.
Tawa kembali hadir. Namun, Langit tampak gelisah sehingga lainnya keheranan.
“Ada apa, ‘Nak Langit?” sapa Ibu Mega.
“Bolehkah aku pamit ke toilet? Sudah sejak tadi menahan ini, a-anu … pipis. Sudah ma-mau keluar.” Langit menyeka keringatnya seraya mengapit rapat kedua kakinya.
Tidak perlu komando, Pak Guruh dan Ibu Mega terbahak-bahak.
“Aduuuh!!!” jerit Langit kesakitan. Cubitan Aurora bersarang di pinggangnya.
Semerbak aroma kopi tubruk menyebar. Kepulan uap panasnya mengangkasa ke langit senja seakan membawa warna hitam kopi menyatu menemani warna-warna pelangi. Penyatuan antara kopi Langit dan pelangi Aurora.


Kupang, 10 Agustus 2017 



Diterbitkan pertama kali oleh Aria Mandiri Group (Aria Pustaka) lewat buku "Kisah dalam Cangkir Kopi", 2017. ISBN: 978-602-6616-36-4

Mencari Kepingan Hati






Mencari Kepingan Hati
Karya: Pena Cendana (PeNa)


Jangan tanya seperti apa rasaku padamu
lebih mudah aku mencari sebatang jarum dalam tumpukan jerami
atau menemukan hilal di balik awan tebal asap polusi
daripada mencari dan menemukan lagi kepingan hatiku untukmu

Sakit dikhianati
telah membuat dinding jantungku kebal walau ditusuk belati
lumpuh urat syarafku karenamu
bukan berarti hidupku tenggelam musnah seiring kepergianmu

Dahulu aku jatuh terantuk mulut manis
terseok-seok susah payah bangkit di tengah gerimis
satu per satu harapan akan hadirmu kian menipis
sampai akhirnya bayanganmu pun hilang sirna tak terlukis

Kini, kau datang membawa bingkai retak berbalut kata ‘khilaf’
mencoba menyusun kembali setiap potongan gambar kenangan kita
tetap saja kepercayaanku terlanjur diserap keringnya air mata
pencarian kita harus berhenti di tepi jurang yang sama bernama ‘maaf’

Kupang, 09 Agustus 2017 


Diterbitkan pertama kali oleh Aria Mandiri Grup (Aria Pustaka) lewat buku "Sajak Kehilangan", 2017. ISBN: 978-602-6616-34-0

Aroma Kopi Medan Pertempuran






Aroma Kopi Medan Pertempuran
Karya : Marthen Edison


Mayor Deny mengendus.
“Benar, ini bukan bau anyir darah. Bukan juga bau bubuk mesiu. Aku mengenal aroma ini,“ gumamnya.
Setengah melompat Mayor Deny beranjak bangkit dari tidurnya. Mengucak-ngucak matanya lalu memperhatikan sekelilingnya. Dua anggota pasukannya tampak siaga berjaga-jaga lima ratus meter dari tempatnya berdiri. Sementara anggota lain masih tertidur dengan memeluk senjata mereka masing-masing. Diliriknya jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukan jam tiga.
“Masih terlalu pagi. Biarkan mereka istirahat saja, peperangan semalam sangat menguras tenaga. Akan kucari tahu sendiri asal aroma ini,“ pikirnya.
Dengan menjaga berat langkahnya untuk tidak membangunkan yang lainnya, Mayor Deny beranjak ke arah timur, ke arah dari mana angin mengembuskan aroma yang begitu mengganggu penciumannya. Sambil berjalan, otaknya terus menganalisa berusaha mengenali aroma misterius itu. Aroma itu terakhir kali dihirupnya saat mengakhiri pendidikan militernya di Malang. Aroma khas warung pojok di dekat kompleks asramanya dulu.
“Sulastri!“ pekiknya tertahan.
Kopi hitam bubuk jahe buatan Sulastri. Berhasil!
“Apakah Sulastri ada di sini? Mengungsi ataukah ia ditawan musuh dan dijadikan pelayan mereka?“ Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk di dalam benak Mayor Deny.
Tanpa sadar, aroma kopi itu telah membawanya kembali ke arena tembak-menembak peperangan semalam.
Mayat-mayat korban pertempuran masih bergelimpangan belum ada  pengurusnya. Mungkin juga sengaja dibiarkan untuk menjadi sarapan pagi dan santapan siang burung-burung nazar.
Bau anyir darah semakin tajam bertempur melawan aroma kopi racikan tangan Sulastri, berebutan tempat di hidung Mayor Deny.
Samar-samar, dilihatnya bayangan sesosok perempuan lansing dalam balutan kebaya di tengah medan perang.
“Tak salah lagi, itu pasti Sulastri.“
Mayor Deny baru saja akan mendekati perempuan yang membelakanginya itu tetapi sebuah pukulan tepat di belakang kepalanya mendahului membuat ia tak sadarkan diri. Musuh.

*****


“Mas Deny. Mas ...!“ suara lembut Sulastri membangunkannya.
Mayor Deny membuka matanya. Sulastri duduk di pinggir ranjang ia berbaring. Tersenyum.
Dipandangnya berkeliling ruangan di mana mereka berada.
Kamarnya. Kamar pengantin ia dan Sulastri.
Sulastri gadis pembuat kopi di warung pojok kompleks asramanya itu telah resmi dipersuntingnya kemarin.
Tak ada medan perang. Tak ada mayat-mayat bergelimpangan. Rupanya ia hanya bermimpi. Namun aroma kopi dalam bunga tidurnya masih saja tajam menyengat, begitu nyata.
“Kopinya, Mas. Tidak dinas kan hari ini?“ Pertanyaan Sulastri membawa Mayor Deny benar-benar kembali ke alam sadar. Sulastri mengangkat dan menyuguhkan secangkir kopi dari nampan di meja ke dekat wajah Mayor Deny.
“Inilah sumbernya.“ Mayor Deny tertawa kecil. Diambilnya cangkir dari tangan Sulastri istrinya dan tidak menunggu lama tetes demi tetes cairan hitam itu mengaliri kerongkongannya.
“Sumber? Sumber apa?“ Sulastri keheranan.
“Tidak. Aku hanya bermimpi lagi berada di medan perang dan mencium aroma kopi buatanmu,“ ucap Mayar Deny sambil meletakan kembali cangkir kopi ke meja kecil di samping ranjang.
“Ha?“ Sulastri masih keheranan meminta penjelasan lebih.
“Ceritanya nanti saja. Bagaimana kalau sekarang kita benar-benar ‘bertempur’ saja?“  Lirikan nakal di sudut mata Mayor Deny mengundang Sulastri istrinya untuk masuk ke pelukannya.
Sulastri tersipu dan terlambat mempertahankan berat tubuhnya yang ditarik tangan Mayor Deny.
Harumnya aroma kopi menyebar ke sudut-sudut kamar itu tanpa memedulikan keadaan di sekelilingnya termasuk keadaan dua insan di atas ranjang yang mulai kehabisan penutup tubuh mereka.
Pagi itu menjadi milik Mayor Deny, Sulastri, dan ... tentu saja milik aroma nikmat secangkir kopi.



Diterbitkan pertama kali oleh CV. Harasi lewat buku "Balada Secangkir Kopi", 2016. ISBN: 978-602-6240-83-5

Sepenggal Kisah untuk Sahabat















Sepenggal Kisah untuk Sahabat
Karya : Marthen Edison


Kau datang sahabat
berdendang bersamaku
bersatu dalam tarianku
bahasaku ... dialekmu
tawa kita membalut sepiku
semua kuingat, sepenggal kisah tersimpan memori rindu

Sahabat,
bersamamu direnda waktu
berpisah pun terenggut waktu
siapkah aku ?

Debur ombak pantaiku, tiada lagi kau di sana
berlari di atas pasir berdebu, hanya bayanganmu
kau pergi sahabat.
padamu kutitipkan salamku

Jauh negeri ... ibu menantimu
Pergilah sahabatku, saudaraku
Bila malam ini berlalu, akan hadir sepiku lagi

Kupang, 28 September 2004 




Diterbitkan pertama kali oleh Aksara Aurora Media lewat buku "Kumbang dan Sahabat", 2016. ISBN: 978-602-60522-3-0

Lima Jam di Pantai Selatan







Lima Jam di Pantai Selatan
Karya:  Marthen Edison


Kamis (kliwon), 27 September 2018 09:10 WIB.

“Buka!” perintah Rika.
Van Jorg menatap Rika bingung, tidak mengerti.
“Bajumu!” Rika menunjukan kaos ketat yang menempel di tubuh kekar Van Jorg.
Van Jorg kembali menatap Rika, perlahan-lahan senyumnya mengembang dan matanya bersinar nakal.
“Aku tahu, cepat atau lambat kamu bakal menyukaiku. Kamu mau melakukannya sekarang? Di sini?”
“Sembarangan! Ih, jorok sekali pikiranmu! Kalau kamu bukan putranya Tante Joan, tidak akan mau aku menemanimu ke sini,” jawab Rika.
“Lalu, untuk apa kamu menyuruhku membuka bajuku?” tanya Van Jorg.
“Kita ini akan memasuki kawasan Pantai Selatan. Menurut cerita, Pantai Selatan daerah kekuasaannya Ratu Pantai Selatan bernama Nyi Roro Kidul karena itu para pengunjung pantai dilarang mengenakan baju berwarna hijau, warna kesukaannya. Baju kamu berwarna hijau makanya kusuruh buka, salin dengan baju berwarna lain,” ujar Rika. “Kamu itu walau berdarah campuran Indonesia tapi tetap saja isi otakmu liar seperti pemuda Belanda atau pemuda- pemuda barat lainnya, mesum.”
“Aku mana tahu. Lagian itu hanya mitos. Aku tidak percaya mitos,” ucap Van Jorg membela diri.
“Buka! Atau aku tunggu di sini, tidak ikut mengantarmu. Aku tidak ingin nanti ikut celaka karenamu,” kata Rika.
“Iya, cerewet!” Van Jorg bergegas membuka kaosnya. Tidak sampai semenit tubuh putih kekarnya sudah terpampang jelas memperlihatkan sepasang tonjolan dada bidang dengan hamparan bulu hitam lebat menghiasi permukaan dadanya sampai ke area perut six pack-nya. Dimasukan kaosnya ke dalam tas ranselnya seraya berjalan cepat mendahului Rika memasuki kawasan Pantai Selatan.
“Van! Kamu mau ke sana tanpa pakai baju?” Rika menyusul, menyelaraskan langkah mereka.
“Aku tidak bawa baju lain,” jawab Van Jorg singkat.
Rika terdiam. Van Jorg pun diam. Hanya suara langkah kaki keduanya menapaki pasir kasar yang terdengar. Dalam hati, Rika mengakui kalau ia juga salah tidak memberitahu Van Jorg sejak awal untuk tidak mengenakan baju hijau atau menyuruhnya membawa baju selain berwarna hijau sebagai cadangan. Putra sahabat kedua orangtuanya itu bagaimanapun hanyalah orang asing yang ingin mengenal keindahan Indonesia terlepas dari desas-desus mereka dijodohkan.
“Kamu tunggu saja di sini, aku ingin mengambil gambar di sebelah sana,” kata Van Jorg setibanya di Pantai Selatan.
“Ya, sebaiknya begitu. Aku juga risih jalan dengan pemuda bertelanjang dada sepertimu. Aku tidak mau jadi pusat perhatian orang walau hari masih pagi dan pantai masih sepi,” balas Rika.
“Kamu cemburu aku dilirik gadis-gadis?” goda Van Jorg.
“Idih! Amit-amit,” kata Rika walau sebenarnya diam-diam ia mulai tertarik pada wajah tampan dan pesona maskulin Van Jorg.
Van Jorg tertawa lebar memamerkan deretan gigi putihnya. Sementara kakinya kembali diseret melangkah menjauhi Rika.
Pemandangan Pantai Selatan memang indah, tidak habis-habisnya kamera di tangan Van Jorg melaksanakan tugas mengabadikannya. Air lautnya yang bersih pun bergulung-gulung memukul bibir pantai seolah-olah memanggil Van Jorg untuk membasahi tubuhnya.
“Jauh-jauh dari Amsterdam, sungguh sayang kalau tidak kumanfaatkan waktu sebaik mungkin termasuk berenang di sini,” gumam Van Jorg seraya memandang ke arah Rika di kejauhan, bukan takut ketahuan niatnya hanya saja ia malas berdebat.
Merasa luput dari pengawasan Rika, Van Jorg melepaskan ikat pinggangnya dan menurunkan celana panjangnya. Sekejap tubuhnya hanya tinggal berbalut celana renang speedo hijau yang sudah dipakainya sebagai pengganti ‘dalamannya’.
Van Jorg baru menceburkan diri ke laut kurang lebih lima menit ketika ia melihat Rika di dalam air melambaikan tangan kepadanya untuk segera berenang mengikutinya ke sebuah lubang menyerupai pintu goa di bawah batu karang besar dekat pantai.
“Perempuan Indonesia memang suka kucing-kucingan, malu-malu tapi mau,” pikir Van Jorg senang sambil menyelam secepatnya mengikuti ke arah Rika menghilang.

*****

Kamis (kliwon), 27 September 2018 15:05 WIB.

Sudah lima jam lebih Rika bolak-balik menyusuri Pantai Selatan setelah menyadari Van Jorg terlalu lama pergi memotret sendiri. Namun, Van Jorg belum juga ia temukan.
“Awas saja kalau kamu kutemukan dan kamu sengaja melakukan ini padaku. Akan kubiarkan kamu pulang tanpa berpakaian, biar menggigil kedinginan,” kata Rika kesal disamping khawatir. Celana panjang Van Jorg  ditemukan gadis cantik itu terhampar begitu saja di atas pasir pantai bersama tas ranselnya, segera dimasukan Rika ke dalam tas ransel.
“Van!” teriak Rika memanggil untuk kesekian kalinya. “Van Jorg!”
“Kring ... kring!” Telepon seluler di tangan Rika berdering. Sebuah kombinasi nomor asing tertera di layarnya.
“Siapa lagi ini? Tidak tahu kalau orang lagi susah,” ketus Rika sebelum menjawab sambungan telepon. “Iya, halo!”
Selamat pagi Rika, Sayang,” sapa suara di telepon.
“Siapa? Sembarangan panggil-panggil aku ‘sayang’. Atau kamu baru habis mimpi ya, makanya bilang selamat pagi. Ini sudah siang menjelang sore.”
Ini Van, Van Jorg-mu, Sayang. Di Amsterdam masih pagi, aku baru saja bangun. Itu sebabnya aku mengucapkan selamat pagi. Oh, iya ... aku lupa kalau Belanda-Indonesia selisihnya lima jam, lebih cepat waktunya di Indonesia.” Van Jorg tertawa.
“Jangan tertawa. Kamu pikir aku lagi bercanda? Kamu di mana? Cepat ke sini, pakai pakaianmu dan kita pulang. Atau kamu mau kubuang pakaian dan tasmu ke laut Pantai Selatan?”
Apa?!” teriak Van Jorg, kaget.
“Kenapa kaget? Ada yang salah?”
Kamu masih di Pantai Selatan? Bukankah setelah kita bercinta di goa Pantai Selatan, kita segera pulang, ... lalu beberapa hari kemudian aku balik ke Belanda untuk mempersiapkan pernikahan kita?” tanya Van Jorg.
“Bercinta? Kamu gila. Sekalipun aku menerima perjodohan kita, aku tidak akan bercinta denganmu sebelum menikah. Dan kamu jangan mengada-ada, mengarang cerita, pura-pura kalau kamu sekarang sudah berada di Belanda. Buktinya pakaian, kamera, handphone, dan tasmu masih di sini.” Rika mulai geram. Kekhawatirannya yang sempat hadir kini berganti amarah, ia merasa dipermainkan Van Jorg.
Aku benar sudah di Belanda, Sayang. Ini aku lagi bersama mamiku. Kupikir aku memang tanpa sengaja ketinggalan ranselku serta semua peralatan fotografiku di sana,” kata Van Jorg.
Selamat pagi, Rika. Ini tante Joan, Sayang. Apa kabarmu?” Seorang perempuan menyela pembicaraan Rika dan Van Jorg melalui sambungan telepon di sisi Van Jorg.
“Apa?!” Giliran Rika menjerit tidak percaya. “Benarkah aku bicara dengan Tante Joan? Bagaimana mungkin?”
Tiba-tiba permukaan laut di hadapan Rika terbelah, membuat mata Rika kian terbelalak ‘antara masih ada atau sudah tiada’ kesadarannya.
Di belakang Rika, sesosok tubuh anggun seorang ratu berpakaian serba hijau, berdiri di dekat sebuah kereta kencana yang ditarik empat ekor kuda putih bersih, tersenyum ke arah tubuh Rika yang mulai limbung jatuh pingsan tanpa pernah diketahui kehadirannya oleh Rika.

Kupang, 02 Oktober 2018 




Diterbitkan pertama kali oleh CV. Intishar Publishing lewat buku "Bisikan Pati", 2019. ISBN: 978-602-490-338-1

Pelacur Warung Kopi



Pelacur Warung Kopi
Karya : Marthen Edison


Pagi adalah waktuku membayarmu
berpose telanjang di atas meja, menantang
harummu memanggilku mendekat, membangkitkan hasratku

Tak tahan
kumasukan jari telunjuk ke liangmu, hangat
kuangkat tubuhmu, kutiupkan perlahan
bibirku menyentuh bibirmu
cairan hitam manis cintamu mengoles lidahku, kuhirup hingga tetes terakhir

Kuletakkan kembali dirimu pada tatakan, ranjangmu
hangat sudah dadaku kini di hari hujan, karenamu

Kunaikan ujung celanaku
saatnya kupergi menembus banjir
meninggalkanmu;  wahai engkau sebuah cangkir,
pelacur warung kopi

Kupang, 27 Maret 2011 




Diterbitkan pertama kali oleh Aksara Aurora Media lewat buku "Kumbang dan Sahabat", 2016. ISBN: 978-602-60522-3-0

Friday, August 10, 2018

Pepaya Aku dan Ayah






Pepaya Aku Dan Ayah
Karya : Marthen Edison


“Sial ...!“ Aku mengumpat. “Aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah dewasa. Ayah juga bukan anak kecil lagi. Tak perlu ada perayaan ulang tahun segala!“
Aku memandang tiket pesawat dan paket liburan ke Beijing di atas meja kerjaku. Besok adalah ulang tahunku. Aku ingin merayakan berdua saja bersama Natalia, kekasihku. Namun keinginan Ayah memaksaku pulang ke rumah tua, rumah turun temurun leluhur Ayah, membuatku badmood.
“Ed, kamu ke rumah kakek ya .... bisa, kan? Ayah dalam perjalanan nih ke sana. Ayah ingin merayakan ulang tahun kita bersama lagi. Ibu dan adik-adik sudah Ayah beritahu dan mereka setuju.“ Terngiang kembali diskusi sepihak di telepon tadi. Nadanya meminta tetapi tetap saja itu berarti perintah.
Ulang tahun aku dan Ayah memang hanya berselisih dua hari. Ayah kelahiran tanggal dua puluh sembilan Agustus dan aku terlahir pada tanggal akhir bulan tersebut. Sejak kelahiranku, Ayah selalu memilih merayakan ulang tahunnya bersama dengan ulang tahunku. Ia menyebutnya ulang tahun ‘kita’. Aku pernah mengusulkan untuk merayakannya pada tanggal tiga puluh Agustus saja, tetapi Ayah menolak dengan dalih pada tanggal tersebut aku belum berulang tahun. Aku tahu, itu hanya caranya supaya aku tidak memiliki alasan menolak ulang tahun ‘kita’.
“Tok ... tok ... tok! “ Pintu ruang kerjaku diketuk.
“Iya, masuk!“
Mbok Darti, pelayan keluarga kami masuk membawa nampan. Wanita lanjut usia yang usianya tidak jauh dari usia ibuku ini juga adalah pengasuhku.
“Pepaya kesukaan Cah Bagus di kebun belakang sudah ada yang matang lagi. Dipetik oleh Pak Andri barusan. Nih, sudah Mbok kupas, potong-potong dan dinginkan sebentar di kulkas seperti biasa sesuai kesukaan Cah Bagus,“ urai Mbok Darti lengkap sambil menaruh sepiring besar potongan pepaya segar di bagian meja kerjaku yang masih kosong belum direbut tempatnya oleh berkas-berkas dokumen kerjaku.
“Terima kasih, Mbok Darti.“ Aku tersenyum padanya.
Mbok Darti balas tersenyum lalu melangkah keluar.
Siang panas seperti saat ini memang cocok bila mengkonsumsi buah-buahan segar. Tak sabar aku meraih garpu dan mulai memasukan beberapa potongan pepaya ke dalam mulutku. Yummy, nikmat banget.
Stop!
Memori di kepalaku menghentikan gerakan menyuap tanganku ke arah mulutku. Sejarah bagaimana pohon pepaya ini hadir dan tumbuh subur di kebun belakang rumah kami perlahan-lahan menyeruak keluar terbayang di mataku.
Tiga belas tahun yang lalu, beberapa hari setelah aku menyelesaikan gelar strata satuku di fakultas pertanian, aku dan Ayah berlomba menanam bibit pepaya di kebun belakang. Waktu itu aku sempat menertawakan Ayah.
“Yah! Ayah seorang pengusaha ekspor impor sukses. Mau makan pepaya tinggal beli saja, berapa duit sih harganya? Buat apa harus capek-capek menanamnya? Ada Pak Andri tukang kebun juga, suruh saja Pak Andri yang menanamnya.“
“Ed, ... menanam, berkebun itu hobi Ayah. Kakekmu petani. Tidak aneh kan kalau Ayah juga berkebun? Aktivitas seperti ini juga suatu hiburan, mengurangi stres. Tidak semua orang dapat melakukannya.“
“Ah, Ayah. Kalau cuma menanam pepaya itu mudah banget,“ bantahku.
“Mudah menurutmu? Ayo, buktikan! Kita bagi jumlah anakan bibit pepaya ini menjadi dua. Kita buktikan siapa yang akan berhasil menananmnya.“
“Oke! Aku seorang sarjana pertanian, pastilah punyaku yang akan tumbuh subur.“ Aku senang sekali dengan menyebut gelar pendidikan yang kuraih, walau motivasi kuliahku di fakultas pertanian hanya untuk dapat dekat dengan Winda, mahasiswi tercantik saat itu.
Sore itu aku dan Ayah menghabiskan waktu bersama cangkul, ember air, anakan bibit pepaya, humus, dan tentu saja lumpur yang mengotori tangan, kaki dan baju kami.
Aku tersenyum mengingat kisah itu.
Ceritanya berlanjut.
Dua hari setelah kami menanam, aku dan Ayah kembali ke halaman belakang rumah untuk melihat perkembangan tanaman-tanaman pepaya kami.
Aku terkejut. Pepayaku layu dan tak ada harapan tumbuh lagi. Berbeda dengan pepaya-pepaya yang ditanami ayah; begitu segar dan hijau. Hidup.
“Apa yang terjadi, Yah? Pasti Ayah curang menaruh sesuatu pada bibit yang aku tanami.“
“Kamu salah, Ed. Tak ada kecurangan di sini.“
“Lalu bagaimana ini bisa terjadi? Semua bibit tanamanku mati.“
“Rahasianya mungkin sederhana. Ayah seorang anak petani dan kamu Ed anak seorang pengusaha. Tangan kita berbeda.“
Aku terpaku. ‘Ayah seorang anak petani dan kamu Ed anak seorang pengusaha’. Kalimat itu begitu sederhana tetapi serasa menamparku, masuk ke relung-relung hatiku.
Semua kebiasaan-kebiasaanku, menganggap hidup begitu mudah satu per satu mendakwaku. Untuk pertama kalinya, secara tiba-tiba aku memeluk Ayah dengan kerinduan yang sangat dalam. Aku tahu Ayah terheran dengan tingkahku.
Ada air mataku menetes. Semoga Ayah tak melihatnya. Penyesalan akan apa yang kuperbuat selama ini.
Malam turun dengan cepat. Keesokan paginya ketika aku kembali ke kebun belakang, aku menemukan dalam lubang-lubang tanaman anakan bibit pepayaku telah tumbuh subur pepaya-pepaya yang luar biasa segar. Sementara pada lubang-lubang buatan Ayah, sudah tak nampak lagi tanaman pepayanya.
“Aku bukan anak kecil lagi, Yah. Aku tahu Ayah menukarnya semalam untuk membuatku senang biar aku tidak malu dengan gelarku. Pepayaku sudah mati, tak mungkin bangkit lagi,“ gumamku sendiri. “Begitu sayangkah Ayah padaku, sehingga ia memberikan jerih payahnya padaku untuk kumiliki dan kunikmati?” Ada air mata kembali bergulir. Siapa bilang lelaki tak boleh menangis?

*****

Kring ... kring ...!
Aku menekan tombol ‘jawab’ di handphone-ku sambil terus berjalan memasuki halaman rumah berpagar bambu.
“Di mana kamu, Ed?“
“Ini sudah di depan pintu rumah kakek.“
“Kamu benaran datang, Ed?“ Ada nada terkejut dalam suara lawan bicaraku.
“Tentu saja, Yah. Untuk ulang tahun ‘kita’,“ jawabku tegas tanpa keraguan.




Diterbitkan pertama kali oleh WA Publisher lewat buku Kumpulan Cerpen 'My Dad My Everything', 2017. ISBN: 978-602-6081-89-6