Antara Kopi Langit dan Pelangi Aurora
Karya: Marthen Edison
Langit dan Aurora duduk terdiam di hadapan Pak Guruh, ayah Aurora.
Keduanya tak berani memulai pembicaraan atau mengangkat wajah sebelum ada
reaksi Pak Guruh akan kehadiran mereka.
Baju Langit mulai dibasahi oleh keringatnya sendiri, resah. Ia merasa
seperti terdakwa di suatu sidang peradilan. Seandainya ada pilihan, ia akan
menunda pertemuan ini atau berlari pergi menjauh selamanya. Namun ia harus
melakukannya sebagai bukti perjuangan cintanya kepada Aurora. Ia sudah bertekad
akan terus berjuang sampai hati ayah calon istrinya luluh dan merestui hubungan
mereka menggapai pelaminan.
Aurora meremas jemari tangan kiri dan tangan kanannya bergantian. Ia pun
sama gelisahnya dengan Langit. Ia sangat mengenal ayahnya. Bila sudah marah
atau membenci seseorang, maka akan sulit termaafkan dalam arti sebenarnya.
Mulut boleh berkata ‘maaf diterima’ tetapi tidak di relung hati.
“Baiklah. Apa yang bisa kamu katakan, Langit?” suara Pak Guruh memecah
kesunyian di antara mereka yang terdengar bagai bunyi guruh pada langit cerah
di gendang telinga Langit.
Di luar rintik mulai turun bersamaan cucuran butiran peluh dari kening
Langit. Kaki Aurora di bawah meja menyenggol kaki Langit sebagai isyarat untuk
segera berkata-kata sebelum ayahnya gusar menunggu.
*****
“Kalian berdua yakin untuk naik pelaminan?” tanya Pak Guruh.
“Yakin, Om!” jawab Langit cepat.
“Aurora?” tanya Pak Guruh lagi.
Aurora menatap ayahnya dan Langit bergantian sebelum menjawab.
Kesalahan.
“Yakin, Yah,” lirih suara Aurora.
Pak Guruh menarik napas panjang lalu mengembusnya perlahan. Air mukanya
tetap sama, menimbulkan keringat dingin di balik kemeja biru keberuntungan
Langit.
“Ayah mendengar ada getaran dalam jawabanmu, Aurora. Seperti tersirat
masih ada keraguan,” Pak Guruh mengawali analisanya.
“Tapi Ayah, bukan begitu maksud Auro …,” bantah Aurora terpotong oleh
lambaian tangan ayahnya menyuruh diam, untuk tidak melanjutkan kalimat
bantahannya.
“Kamu Langit, apa kesukaanmu?”
“Kopi, Om!” tegas Langit tanpa keraguan. Ia yakin kali ini bakal
mendapat senyum atau reaksi positif dari calon mertua laki-lakinya itu.
Kesukaan mereka sama, bocoran dari putri Pak Guruh sendiri.
“Tubruk?”
“Iya, Om. Hitam pekat.”
“Hmmm …. Aku tidak berpanjang kata lagi. Langit, … Om ingin mendengar
apa pendapatmu tentang pelangi karena Aurora sejak kecil senang sekali melihat
pelangi,” titah halus Pak Guruh kepada Langit sebelum matanya beralih pandang
menuju putri tunggalnya. “Dan kamu, Aurora … apa pendapatmu tentang kopi tubruk
kesukaan calon menantu Ayah yang kau bawa ini. Tidak perlu jawab sekarang!
Besok kita bertemu lagi di tempat ini untuk kalian paparkan pendapat kalian
masing-masing. Satu hal lagi. Selama waktu berpikir, kalian juga tak boleh
bertemu atau berkomunikasi lewat media apapun. Awas, bila mencoba
melanggarnya!”
Aurora terkejut. Bantahan baru saja akan kembali dilontarkannya, tetapi
Langit meraih tangannya guna meredakan emosi Aurora.
“Aurora! Kamu masuk kamar sekarang dan tak boleh keluar rumah sampai
besok!” perintah Pak Guruh.
Aurora menatap tajam ayahnya. Sorotan matanya seakan ingin membelah
gunung. Kemudian ia melirik Langit. Yang dilirik mengangguk. Aurora beranjak
bangun menyusuri ruang keluarga dari rumah besar Pak Guruh menuju kamarnya.
*****
Disenggol kakinya, Langit segera menepis durasi jeda.
“Pelangi terbentuk dari pembiasan cahaya matahari oleh titik-titik air
di udara. Pelangi sering muncul setelah hujan reda atau curah hujan
berkapasitas kecil seperti gerimis. Ada aliran kepercayaan tertentu berpendapat
bahwa pelangi adalah tanda kecintaan Sang Pencipta bagi manusia agar tidak
menurunkan hujan besar berhari-hari lagi sebagai penyebab air bah sebagaimana
terjadi pada masa Nabi Nuh. Manusia kekinian lebih melihat pelangi sebagai
kiasan harapan baru. Keindahan setelah mendung hitam, setelah ujian hujan badai
kehidupan,” papar Langit lancar mengulangi isi salah satu artikel hasil browsing-nya
kemarin. Ia berharap penjelasan sedikit berbau ilmiahnya akan mendapat nilai
‘A+’ dari Profesor Guruh Satrio.
Keliru. Sang profesor tetap bersikap wajar, bergeming.
“Pendapatmu, Aurora.”
“Ayah, … melihat banyak sekali variasi kopi sekarang, kopi tubruk adalah
kiasan sederhana. Hanya satu warna, hitam. Namun sangat kuat rasa serta
aromanya. Kopi tubruk juga merupakan keaslian kopi, gula satu-satunya penyedap
rasanya. Ketika diminum, manis di awal tetapi berakhir pahitnya ampas. Berbeda
jauh dari varian seperti kopi susu, latte, mocacino, capucino,
atau lainnya.”
Pak Guruh menatap kedua insan muda di hadapannya.
“Kopi tubruk dan pelangi, sama-sama terkait dengan warna hitam. Belum
ada kopi tubruk berwarna selain hitam. Pelangi muncul setelah awan hitam. Kopi
tubruk simbol manis kehidupan mendahului kepahitan. Sedangkan pelangi
sebaliknya, manis yang muncul kemudian setelah kepahitan. Pelangi
berwarna-warni, kopi tubruk hanya satu warna. Sungguh bertolak belakang. Bila
demikian, beritahu aku bagaimana kalian berdua akan menyatukan kopi dan
pelangi?”
Wajah Langit dan Aurora sontak berubah pucat, mereka tidak siap dengan
pertanyaan susulan Pak Guruh. Panik. Berpikir cepat.
“Kalian tidak bisa menjawab?” Senyum Pak Guruh merekah penuh kemenangan
terlukis sempurna.
“Papa, … ayo! Semuanya sudah siap. Masih gerimis tetapi ‘yang ditunggu’
sudah datang,” panggil Ibu Mega, istri Pak Guruh menyela pembicaraan.
“Kalian ikut aku.” Permintaan bernada perintah Pak Guruh kepada Langit
dan Aurora. Keduanya patuh menguntit Pak Guruh.
Setibanya di beranda samping, udara dingin menerpa tubuh mereka.
Berempat mengelilingi meja kecil tempat tersajinya kopi hitam dan sepiring
pisang goreng panas.
“Lihatlah! Pelangi telah muncul. Kita minum kopi sambil menikmati
pelangi. Inilah salah satu cara menyatukan kopi dan pelangi. Kalian tidak
berpikir aku akan memisahkan kalian lewat ujian kecil filosofi kopi tubruk juga
pelangi, bukan? Dengan datangnya pelangi dapat berarti alam mendukung kalian.
Tidak ada alasan aku untuk menghalangi niat baik,” ujar Pak Guruh sambil
mengangkat secangkir kopi mendekati mulutnya. Cairan hitam kental mengaliri
kerongkongannya.
Kaget. Embusan napas Langit terdengar keras; lega. Aurora bangkit
memeluk ayahnya, haru senang campur aduk bergemuruh di benaknya.
“Ayah nakal! Jahat! Aurora sejak kemarin kesal bercampur takut. Ayah
seperti bukan sosok yang dikenal Aurora selama ini,” rengek Aurora manja di
bahu ayahnya.
“Apa kamu berpikir ayah tidak menginginkanmu bahagia, Aurora?” balas Pak
Guruh sambil membelai rambut anaknya.
Ibu Mega tertawa.
“Eit! Ibu tidak ikut-ikutan,” ucap Ibu Mega ketika Aurora melotot
padanya.
Tawa kembali hadir. Namun, Langit tampak gelisah sehingga lainnya
keheranan.
“Ada apa, ‘Nak Langit?” sapa Ibu Mega.
“Bolehkah aku pamit ke toilet? Sudah sejak tadi menahan ini, a-anu …
pipis. Sudah ma-mau keluar.” Langit menyeka keringatnya seraya mengapit rapat
kedua kakinya.
Tidak perlu komando, Pak Guruh dan Ibu Mega terbahak-bahak.
“Aduuuh!!!” jerit Langit kesakitan. Cubitan Aurora bersarang di
pinggangnya.
Semerbak aroma kopi tubruk menyebar. Kepulan uap panasnya mengangkasa ke
langit senja seakan membawa warna hitam kopi menyatu menemani warna-warna
pelangi. Penyatuan antara kopi Langit dan pelangi Aurora.
Kupang, 10
Agustus 2017
Diterbitkan
pertama kali oleh Aria Mandiri Group (Aria Pustaka) lewat buku "Kisah dalam Cangkir Kopi", 2017. ISBN: 978-602-6616-36-4