Friday, April 10, 2020

Aroma Kopi Medan Pertempuran






Aroma Kopi Medan Pertempuran
Karya : Marthen Edison


Mayor Deny mengendus.
“Benar, ini bukan bau anyir darah. Bukan juga bau bubuk mesiu. Aku mengenal aroma ini,“ gumamnya.
Setengah melompat Mayor Deny beranjak bangkit dari tidurnya. Mengucak-ngucak matanya lalu memperhatikan sekelilingnya. Dua anggota pasukannya tampak siaga berjaga-jaga lima ratus meter dari tempatnya berdiri. Sementara anggota lain masih tertidur dengan memeluk senjata mereka masing-masing. Diliriknya jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukan jam tiga.
“Masih terlalu pagi. Biarkan mereka istirahat saja, peperangan semalam sangat menguras tenaga. Akan kucari tahu sendiri asal aroma ini,“ pikirnya.
Dengan menjaga berat langkahnya untuk tidak membangunkan yang lainnya, Mayor Deny beranjak ke arah timur, ke arah dari mana angin mengembuskan aroma yang begitu mengganggu penciumannya. Sambil berjalan, otaknya terus menganalisa berusaha mengenali aroma misterius itu. Aroma itu terakhir kali dihirupnya saat mengakhiri pendidikan militernya di Malang. Aroma khas warung pojok di dekat kompleks asramanya dulu.
“Sulastri!“ pekiknya tertahan.
Kopi hitam bubuk jahe buatan Sulastri. Berhasil!
“Apakah Sulastri ada di sini? Mengungsi ataukah ia ditawan musuh dan dijadikan pelayan mereka?“ Pertanyaan-pertanyaan berkecamuk di dalam benak Mayor Deny.
Tanpa sadar, aroma kopi itu telah membawanya kembali ke arena tembak-menembak peperangan semalam.
Mayat-mayat korban pertempuran masih bergelimpangan belum ada  pengurusnya. Mungkin juga sengaja dibiarkan untuk menjadi sarapan pagi dan santapan siang burung-burung nazar.
Bau anyir darah semakin tajam bertempur melawan aroma kopi racikan tangan Sulastri, berebutan tempat di hidung Mayor Deny.
Samar-samar, dilihatnya bayangan sesosok perempuan lansing dalam balutan kebaya di tengah medan perang.
“Tak salah lagi, itu pasti Sulastri.“
Mayor Deny baru saja akan mendekati perempuan yang membelakanginya itu tetapi sebuah pukulan tepat di belakang kepalanya mendahului membuat ia tak sadarkan diri. Musuh.

*****


“Mas Deny. Mas ...!“ suara lembut Sulastri membangunkannya.
Mayor Deny membuka matanya. Sulastri duduk di pinggir ranjang ia berbaring. Tersenyum.
Dipandangnya berkeliling ruangan di mana mereka berada.
Kamarnya. Kamar pengantin ia dan Sulastri.
Sulastri gadis pembuat kopi di warung pojok kompleks asramanya itu telah resmi dipersuntingnya kemarin.
Tak ada medan perang. Tak ada mayat-mayat bergelimpangan. Rupanya ia hanya bermimpi. Namun aroma kopi dalam bunga tidurnya masih saja tajam menyengat, begitu nyata.
“Kopinya, Mas. Tidak dinas kan hari ini?“ Pertanyaan Sulastri membawa Mayor Deny benar-benar kembali ke alam sadar. Sulastri mengangkat dan menyuguhkan secangkir kopi dari nampan di meja ke dekat wajah Mayor Deny.
“Inilah sumbernya.“ Mayor Deny tertawa kecil. Diambilnya cangkir dari tangan Sulastri istrinya dan tidak menunggu lama tetes demi tetes cairan hitam itu mengaliri kerongkongannya.
“Sumber? Sumber apa?“ Sulastri keheranan.
“Tidak. Aku hanya bermimpi lagi berada di medan perang dan mencium aroma kopi buatanmu,“ ucap Mayar Deny sambil meletakan kembali cangkir kopi ke meja kecil di samping ranjang.
“Ha?“ Sulastri masih keheranan meminta penjelasan lebih.
“Ceritanya nanti saja. Bagaimana kalau sekarang kita benar-benar ‘bertempur’ saja?“  Lirikan nakal di sudut mata Mayor Deny mengundang Sulastri istrinya untuk masuk ke pelukannya.
Sulastri tersipu dan terlambat mempertahankan berat tubuhnya yang ditarik tangan Mayor Deny.
Harumnya aroma kopi menyebar ke sudut-sudut kamar itu tanpa memedulikan keadaan di sekelilingnya termasuk keadaan dua insan di atas ranjang yang mulai kehabisan penutup tubuh mereka.
Pagi itu menjadi milik Mayor Deny, Sulastri, dan ... tentu saja milik aroma nikmat secangkir kopi.



Diterbitkan pertama kali oleh CV. Harasi lewat buku "Balada Secangkir Kopi", 2016. ISBN: 978-602-6240-83-5

No comments:

Post a Comment