Aroma Kopi Medan Pertempuran
Karya : Marthen Edison
Mayor Deny mengendus.
“Benar, ini bukan bau anyir
darah. Bukan juga bau bubuk mesiu. Aku mengenal aroma ini,“ gumamnya.
Setengah melompat Mayor Deny
beranjak bangkit dari tidurnya. Mengucak-ngucak matanya lalu memperhatikan
sekelilingnya. Dua anggota pasukannya tampak siaga berjaga-jaga lima ratus
meter dari tempatnya berdiri. Sementara anggota lain masih tertidur dengan
memeluk senjata mereka masing-masing. Diliriknya jam tangan di pergelangan
tangan kirinya. Waktu menunjukan jam tiga.
“Masih terlalu pagi. Biarkan
mereka istirahat saja, peperangan semalam sangat menguras tenaga. Akan kucari
tahu sendiri asal aroma ini,“ pikirnya.
Dengan menjaga berat
langkahnya untuk tidak membangunkan yang lainnya, Mayor Deny beranjak ke arah
timur, ke arah dari mana angin mengembuskan aroma yang begitu mengganggu
penciumannya. Sambil berjalan, otaknya terus menganalisa berusaha mengenali
aroma misterius itu. Aroma itu terakhir kali dihirupnya saat mengakhiri
pendidikan militernya di Malang. Aroma khas warung pojok di dekat kompleks
asramanya dulu.
“Sulastri!“ pekiknya tertahan.
Kopi hitam bubuk jahe buatan Sulastri. Berhasil!
“Apakah Sulastri ada di sini? Mengungsi
ataukah ia ditawan musuh dan dijadikan pelayan mereka?“ Pertanyaan-pertanyaan
berkecamuk di dalam benak Mayor Deny.
Tanpa sadar, aroma kopi itu telah
membawanya kembali ke arena tembak-menembak peperangan semalam.
Mayat-mayat korban pertempuran
masih bergelimpangan belum ada
pengurusnya. Mungkin juga sengaja dibiarkan untuk menjadi sarapan pagi
dan santapan siang burung-burung nazar.
Bau anyir darah semakin tajam
bertempur melawan aroma kopi racikan tangan Sulastri, berebutan tempat di
hidung Mayor Deny.
Samar-samar, dilihatnya
bayangan sesosok perempuan lansing dalam balutan kebaya di tengah medan perang.
“Tak salah lagi, itu pasti
Sulastri.“
Mayor Deny baru saja akan
mendekati perempuan yang membelakanginya itu tetapi sebuah pukulan tepat di belakang
kepalanya mendahului membuat ia tak sadarkan diri. Musuh.
*****
“Mas Deny. Mas ...!“ suara
lembut Sulastri membangunkannya.
Mayor Deny membuka matanya. Sulastri
duduk di pinggir ranjang ia berbaring. Tersenyum.
Dipandangnya berkeliling
ruangan di mana mereka berada.
Kamarnya. Kamar pengantin ia
dan Sulastri.
Sulastri gadis pembuat kopi di
warung pojok kompleks asramanya itu telah resmi dipersuntingnya kemarin.
Tak ada medan perang. Tak ada
mayat-mayat bergelimpangan. Rupanya ia hanya bermimpi. Namun aroma kopi dalam
bunga tidurnya masih saja tajam menyengat, begitu nyata.
“Kopinya, Mas. Tidak dinas kan
hari ini?“ Pertanyaan Sulastri membawa Mayor Deny benar-benar kembali ke alam
sadar. Sulastri mengangkat dan menyuguhkan secangkir kopi dari nampan di meja
ke dekat wajah Mayor Deny.
“Inilah sumbernya.“ Mayor Deny
tertawa kecil. Diambilnya cangkir dari tangan Sulastri istrinya dan tidak
menunggu lama tetes demi tetes cairan hitam itu mengaliri kerongkongannya.
“Sumber? Sumber apa?“ Sulastri
keheranan.
“Tidak. Aku hanya bermimpi
lagi berada di medan perang dan mencium aroma kopi buatanmu,“ ucap Mayar Deny
sambil meletakan kembali cangkir kopi ke meja kecil di samping ranjang.
“Ha?“ Sulastri masih keheranan
meminta penjelasan lebih.
“Ceritanya nanti saja.
Bagaimana kalau sekarang kita benar-benar ‘bertempur’ saja?“ Lirikan nakal di sudut mata Mayor Deny
mengundang Sulastri istrinya untuk masuk ke pelukannya.
Sulastri tersipu dan terlambat
mempertahankan berat tubuhnya yang ditarik tangan Mayor Deny.
Harumnya aroma kopi menyebar
ke sudut-sudut kamar itu tanpa memedulikan keadaan di sekelilingnya termasuk
keadaan dua insan di atas ranjang yang mulai kehabisan penutup tubuh mereka.
Pagi itu menjadi milik Mayor
Deny, Sulastri, dan ... tentu saja milik aroma nikmat secangkir kopi.
Diterbitkan pertama kali oleh CV. Harasi lewat buku "Balada Secangkir Kopi", 2016. ISBN: 978-602-6240-83-5
Diterbitkan pertama kali oleh CV. Harasi lewat buku "Balada Secangkir Kopi", 2016. ISBN: 978-602-6240-83-5
No comments:
Post a Comment