Lima Jam di Pantai Selatan
Karya:
Marthen Edison
Kamis (kliwon), 27 September 2018 09:10 WIB.
“Buka!” perintah Rika.
Van Jorg menatap Rika bingung,
tidak mengerti.
“Bajumu!” Rika menunjukan kaos
ketat yang menempel di tubuh kekar Van Jorg.
Van Jorg kembali menatap Rika,
perlahan-lahan senyumnya mengembang dan matanya bersinar nakal.
“Aku tahu, cepat atau lambat
kamu bakal menyukaiku. Kamu mau melakukannya sekarang? Di sini?”
“Sembarangan! Ih, jorok sekali
pikiranmu! Kalau kamu bukan putranya Tante Joan, tidak akan mau aku menemanimu
ke sini,” jawab Rika.
“Lalu, untuk apa kamu
menyuruhku membuka bajuku?” tanya Van Jorg.
“Kita ini akan memasuki
kawasan Pantai Selatan. Menurut cerita, Pantai Selatan daerah kekuasaannya Ratu
Pantai Selatan bernama Nyi Roro Kidul karena itu para pengunjung pantai
dilarang mengenakan baju berwarna hijau, warna kesukaannya. Baju kamu berwarna
hijau makanya kusuruh buka, salin dengan baju berwarna lain,” ujar Rika. “Kamu
itu walau berdarah campuran Indonesia tapi tetap saja isi otakmu liar seperti
pemuda Belanda atau pemuda- pemuda barat lainnya, mesum.”
“Aku mana tahu. Lagian itu
hanya mitos. Aku tidak percaya mitos,” ucap Van Jorg membela diri.
“Buka! Atau aku tunggu di
sini, tidak ikut mengantarmu. Aku tidak ingin nanti ikut celaka karenamu,” kata
Rika.
“Iya, cerewet!” Van Jorg
bergegas membuka kaosnya. Tidak sampai semenit tubuh putih kekarnya sudah
terpampang jelas memperlihatkan sepasang tonjolan dada bidang dengan hamparan
bulu hitam lebat menghiasi permukaan dadanya sampai ke area perut six pack-nya. Dimasukan kaosnya ke dalam
tas ranselnya seraya berjalan cepat mendahului Rika memasuki kawasan Pantai Selatan.
“Van! Kamu mau ke sana tanpa pakai
baju?” Rika menyusul, menyelaraskan langkah mereka.
“Aku tidak bawa baju lain,” jawab
Van Jorg singkat.
Rika terdiam. Van Jorg pun
diam. Hanya suara langkah kaki keduanya menapaki pasir kasar yang terdengar.
Dalam hati, Rika mengakui kalau ia juga salah tidak memberitahu Van Jorg sejak
awal untuk tidak mengenakan baju hijau atau menyuruhnya membawa baju selain
berwarna hijau sebagai cadangan. Putra sahabat kedua orangtuanya itu
bagaimanapun hanyalah orang asing yang ingin mengenal keindahan Indonesia
terlepas dari desas-desus mereka dijodohkan.
“Kamu tunggu saja di sini, aku
ingin mengambil gambar di sebelah sana,” kata Van Jorg setibanya di Pantai
Selatan.
“Ya, sebaiknya begitu. Aku
juga risih jalan dengan pemuda bertelanjang dada sepertimu. Aku tidak mau jadi
pusat perhatian orang walau hari masih pagi dan pantai masih sepi,” balas Rika.
“Kamu cemburu aku dilirik
gadis-gadis?” goda Van Jorg.
“Idih! Amit-amit,” kata Rika walau sebenarnya diam-diam ia mulai tertarik
pada wajah tampan dan pesona maskulin Van Jorg.
Van Jorg tertawa lebar
memamerkan deretan gigi putihnya. Sementara kakinya kembali diseret melangkah
menjauhi Rika.
Pemandangan Pantai Selatan
memang indah, tidak habis-habisnya kamera di tangan Van Jorg melaksanakan tugas
mengabadikannya. Air lautnya yang bersih pun bergulung-gulung memukul bibir
pantai seolah-olah memanggil Van Jorg untuk membasahi tubuhnya.
“Jauh-jauh dari Amsterdam,
sungguh sayang kalau tidak kumanfaatkan waktu sebaik mungkin termasuk berenang
di sini,” gumam Van Jorg seraya memandang ke arah Rika di kejauhan, bukan takut
ketahuan niatnya hanya saja ia malas berdebat.
Merasa luput dari pengawasan
Rika, Van Jorg melepaskan ikat pinggangnya dan menurunkan celana panjangnya.
Sekejap tubuhnya hanya tinggal berbalut celana renang speedo hijau yang sudah dipakainya sebagai pengganti ‘dalamannya’.
Van Jorg baru menceburkan diri
ke laut kurang lebih lima menit ketika ia melihat Rika di dalam air melambaikan
tangan kepadanya untuk segera berenang mengikutinya ke sebuah lubang menyerupai
pintu goa di bawah batu karang besar dekat pantai.
“Perempuan Indonesia memang
suka kucing-kucingan, malu-malu tapi mau,” pikir Van Jorg senang sambil
menyelam secepatnya mengikuti ke arah Rika menghilang.
*****
Kamis (kliwon), 27 September 2018 15:05 WIB.
Sudah lima jam lebih Rika
bolak-balik menyusuri Pantai Selatan setelah menyadari Van Jorg terlalu lama
pergi memotret sendiri. Namun, Van Jorg belum juga ia temukan.
“Awas saja kalau kamu
kutemukan dan kamu sengaja melakukan ini padaku. Akan kubiarkan kamu pulang
tanpa berpakaian, biar menggigil kedinginan,” kata Rika kesal disamping khawatir.
Celana panjang Van Jorg ditemukan gadis
cantik itu terhampar begitu saja di atas pasir pantai bersama tas ranselnya,
segera dimasukan Rika ke dalam tas ransel.
“Van!” teriak Rika memanggil
untuk kesekian kalinya. “Van Jorg!”
“Kring ... kring!” Telepon
seluler di tangan Rika berdering. Sebuah kombinasi nomor asing tertera di
layarnya.
“Siapa lagi ini? Tidak tahu
kalau orang lagi susah,” ketus Rika sebelum menjawab sambungan telepon. “Iya,
halo!”
“Selamat pagi Rika, Sayang,” sapa suara di telepon.
“Siapa? Sembarangan
panggil-panggil aku ‘sayang’. Atau kamu baru habis mimpi ya, makanya bilang
selamat pagi. Ini sudah siang menjelang sore.”
“Ini Van, Van Jorg-mu, Sayang. Di Amsterdam masih pagi, aku baru saja
bangun. Itu sebabnya aku mengucapkan selamat pagi. Oh, iya ... aku lupa kalau
Belanda-Indonesia selisihnya lima jam, lebih cepat waktunya di Indonesia.”
Van Jorg tertawa.
“Jangan tertawa. Kamu pikir
aku lagi bercanda? Kamu di mana? Cepat ke sini, pakai pakaianmu dan kita
pulang. Atau kamu mau kubuang pakaian dan tasmu ke laut Pantai Selatan?”
“Apa?!” teriak Van Jorg, kaget.
“Kenapa kaget? Ada yang
salah?”
“Kamu masih di Pantai Selatan? Bukankah setelah kita bercinta di goa Pantai
Selatan, kita segera pulang, ... lalu beberapa hari kemudian aku balik ke
Belanda untuk mempersiapkan pernikahan kita?” tanya Van Jorg.
“Bercinta? Kamu gila.
Sekalipun aku menerima perjodohan kita, aku tidak akan bercinta denganmu
sebelum menikah. Dan kamu jangan mengada-ada, mengarang cerita, pura-pura kalau
kamu sekarang sudah berada di Belanda. Buktinya pakaian, kamera, handphone, dan tasmu masih di sini.”
Rika mulai geram. Kekhawatirannya yang sempat hadir kini berganti amarah, ia
merasa dipermainkan Van Jorg.
“Aku benar sudah di Belanda, Sayang. Ini aku lagi bersama mamiku.
Kupikir aku memang tanpa sengaja ketinggalan ranselku serta semua peralatan
fotografiku di sana,” kata Van Jorg.
“Selamat pagi, Rika. Ini tante Joan, Sayang. Apa kabarmu?” Seorang
perempuan menyela pembicaraan Rika dan Van Jorg melalui sambungan telepon di
sisi Van Jorg.
“Apa?!” Giliran Rika menjerit tidak
percaya. “Benarkah aku bicara dengan Tante Joan? Bagaimana mungkin?”
Tiba-tiba permukaan laut di
hadapan Rika terbelah, membuat mata Rika kian terbelalak ‘antara masih ada atau
sudah tiada’ kesadarannya.
Di belakang Rika, sesosok
tubuh anggun seorang ratu berpakaian serba hijau, berdiri di dekat sebuah kereta
kencana yang ditarik empat ekor kuda putih bersih, tersenyum ke arah tubuh Rika
yang mulai limbung jatuh pingsan tanpa pernah diketahui kehadirannya oleh Rika.
Kupang, 02 Oktober 2018
Diterbitkan
pertama kali oleh CV. Intishar Publishing lewat buku "Bisikan Pati", 2019. ISBN: 978-602-490-338-1
No comments:
Post a Comment