Friday, April 10, 2020

Lima Jam di Pantai Selatan







Lima Jam di Pantai Selatan
Karya:  Marthen Edison


Kamis (kliwon), 27 September 2018 09:10 WIB.

“Buka!” perintah Rika.
Van Jorg menatap Rika bingung, tidak mengerti.
“Bajumu!” Rika menunjukan kaos ketat yang menempel di tubuh kekar Van Jorg.
Van Jorg kembali menatap Rika, perlahan-lahan senyumnya mengembang dan matanya bersinar nakal.
“Aku tahu, cepat atau lambat kamu bakal menyukaiku. Kamu mau melakukannya sekarang? Di sini?”
“Sembarangan! Ih, jorok sekali pikiranmu! Kalau kamu bukan putranya Tante Joan, tidak akan mau aku menemanimu ke sini,” jawab Rika.
“Lalu, untuk apa kamu menyuruhku membuka bajuku?” tanya Van Jorg.
“Kita ini akan memasuki kawasan Pantai Selatan. Menurut cerita, Pantai Selatan daerah kekuasaannya Ratu Pantai Selatan bernama Nyi Roro Kidul karena itu para pengunjung pantai dilarang mengenakan baju berwarna hijau, warna kesukaannya. Baju kamu berwarna hijau makanya kusuruh buka, salin dengan baju berwarna lain,” ujar Rika. “Kamu itu walau berdarah campuran Indonesia tapi tetap saja isi otakmu liar seperti pemuda Belanda atau pemuda- pemuda barat lainnya, mesum.”
“Aku mana tahu. Lagian itu hanya mitos. Aku tidak percaya mitos,” ucap Van Jorg membela diri.
“Buka! Atau aku tunggu di sini, tidak ikut mengantarmu. Aku tidak ingin nanti ikut celaka karenamu,” kata Rika.
“Iya, cerewet!” Van Jorg bergegas membuka kaosnya. Tidak sampai semenit tubuh putih kekarnya sudah terpampang jelas memperlihatkan sepasang tonjolan dada bidang dengan hamparan bulu hitam lebat menghiasi permukaan dadanya sampai ke area perut six pack-nya. Dimasukan kaosnya ke dalam tas ranselnya seraya berjalan cepat mendahului Rika memasuki kawasan Pantai Selatan.
“Van! Kamu mau ke sana tanpa pakai baju?” Rika menyusul, menyelaraskan langkah mereka.
“Aku tidak bawa baju lain,” jawab Van Jorg singkat.
Rika terdiam. Van Jorg pun diam. Hanya suara langkah kaki keduanya menapaki pasir kasar yang terdengar. Dalam hati, Rika mengakui kalau ia juga salah tidak memberitahu Van Jorg sejak awal untuk tidak mengenakan baju hijau atau menyuruhnya membawa baju selain berwarna hijau sebagai cadangan. Putra sahabat kedua orangtuanya itu bagaimanapun hanyalah orang asing yang ingin mengenal keindahan Indonesia terlepas dari desas-desus mereka dijodohkan.
“Kamu tunggu saja di sini, aku ingin mengambil gambar di sebelah sana,” kata Van Jorg setibanya di Pantai Selatan.
“Ya, sebaiknya begitu. Aku juga risih jalan dengan pemuda bertelanjang dada sepertimu. Aku tidak mau jadi pusat perhatian orang walau hari masih pagi dan pantai masih sepi,” balas Rika.
“Kamu cemburu aku dilirik gadis-gadis?” goda Van Jorg.
“Idih! Amit-amit,” kata Rika walau sebenarnya diam-diam ia mulai tertarik pada wajah tampan dan pesona maskulin Van Jorg.
Van Jorg tertawa lebar memamerkan deretan gigi putihnya. Sementara kakinya kembali diseret melangkah menjauhi Rika.
Pemandangan Pantai Selatan memang indah, tidak habis-habisnya kamera di tangan Van Jorg melaksanakan tugas mengabadikannya. Air lautnya yang bersih pun bergulung-gulung memukul bibir pantai seolah-olah memanggil Van Jorg untuk membasahi tubuhnya.
“Jauh-jauh dari Amsterdam, sungguh sayang kalau tidak kumanfaatkan waktu sebaik mungkin termasuk berenang di sini,” gumam Van Jorg seraya memandang ke arah Rika di kejauhan, bukan takut ketahuan niatnya hanya saja ia malas berdebat.
Merasa luput dari pengawasan Rika, Van Jorg melepaskan ikat pinggangnya dan menurunkan celana panjangnya. Sekejap tubuhnya hanya tinggal berbalut celana renang speedo hijau yang sudah dipakainya sebagai pengganti ‘dalamannya’.
Van Jorg baru menceburkan diri ke laut kurang lebih lima menit ketika ia melihat Rika di dalam air melambaikan tangan kepadanya untuk segera berenang mengikutinya ke sebuah lubang menyerupai pintu goa di bawah batu karang besar dekat pantai.
“Perempuan Indonesia memang suka kucing-kucingan, malu-malu tapi mau,” pikir Van Jorg senang sambil menyelam secepatnya mengikuti ke arah Rika menghilang.

*****

Kamis (kliwon), 27 September 2018 15:05 WIB.

Sudah lima jam lebih Rika bolak-balik menyusuri Pantai Selatan setelah menyadari Van Jorg terlalu lama pergi memotret sendiri. Namun, Van Jorg belum juga ia temukan.
“Awas saja kalau kamu kutemukan dan kamu sengaja melakukan ini padaku. Akan kubiarkan kamu pulang tanpa berpakaian, biar menggigil kedinginan,” kata Rika kesal disamping khawatir. Celana panjang Van Jorg  ditemukan gadis cantik itu terhampar begitu saja di atas pasir pantai bersama tas ranselnya, segera dimasukan Rika ke dalam tas ransel.
“Van!” teriak Rika memanggil untuk kesekian kalinya. “Van Jorg!”
“Kring ... kring!” Telepon seluler di tangan Rika berdering. Sebuah kombinasi nomor asing tertera di layarnya.
“Siapa lagi ini? Tidak tahu kalau orang lagi susah,” ketus Rika sebelum menjawab sambungan telepon. “Iya, halo!”
Selamat pagi Rika, Sayang,” sapa suara di telepon.
“Siapa? Sembarangan panggil-panggil aku ‘sayang’. Atau kamu baru habis mimpi ya, makanya bilang selamat pagi. Ini sudah siang menjelang sore.”
Ini Van, Van Jorg-mu, Sayang. Di Amsterdam masih pagi, aku baru saja bangun. Itu sebabnya aku mengucapkan selamat pagi. Oh, iya ... aku lupa kalau Belanda-Indonesia selisihnya lima jam, lebih cepat waktunya di Indonesia.” Van Jorg tertawa.
“Jangan tertawa. Kamu pikir aku lagi bercanda? Kamu di mana? Cepat ke sini, pakai pakaianmu dan kita pulang. Atau kamu mau kubuang pakaian dan tasmu ke laut Pantai Selatan?”
Apa?!” teriak Van Jorg, kaget.
“Kenapa kaget? Ada yang salah?”
Kamu masih di Pantai Selatan? Bukankah setelah kita bercinta di goa Pantai Selatan, kita segera pulang, ... lalu beberapa hari kemudian aku balik ke Belanda untuk mempersiapkan pernikahan kita?” tanya Van Jorg.
“Bercinta? Kamu gila. Sekalipun aku menerima perjodohan kita, aku tidak akan bercinta denganmu sebelum menikah. Dan kamu jangan mengada-ada, mengarang cerita, pura-pura kalau kamu sekarang sudah berada di Belanda. Buktinya pakaian, kamera, handphone, dan tasmu masih di sini.” Rika mulai geram. Kekhawatirannya yang sempat hadir kini berganti amarah, ia merasa dipermainkan Van Jorg.
Aku benar sudah di Belanda, Sayang. Ini aku lagi bersama mamiku. Kupikir aku memang tanpa sengaja ketinggalan ranselku serta semua peralatan fotografiku di sana,” kata Van Jorg.
Selamat pagi, Rika. Ini tante Joan, Sayang. Apa kabarmu?” Seorang perempuan menyela pembicaraan Rika dan Van Jorg melalui sambungan telepon di sisi Van Jorg.
“Apa?!” Giliran Rika menjerit tidak percaya. “Benarkah aku bicara dengan Tante Joan? Bagaimana mungkin?”
Tiba-tiba permukaan laut di hadapan Rika terbelah, membuat mata Rika kian terbelalak ‘antara masih ada atau sudah tiada’ kesadarannya.
Di belakang Rika, sesosok tubuh anggun seorang ratu berpakaian serba hijau, berdiri di dekat sebuah kereta kencana yang ditarik empat ekor kuda putih bersih, tersenyum ke arah tubuh Rika yang mulai limbung jatuh pingsan tanpa pernah diketahui kehadirannya oleh Rika.

Kupang, 02 Oktober 2018 




Diterbitkan pertama kali oleh CV. Intishar Publishing lewat buku "Bisikan Pati", 2019. ISBN: 978-602-490-338-1

No comments:

Post a Comment