Sunday, June 17, 2018

Kotak Makan Siang



Kotak Makan Siang
Karya: Marthen Edison


Semua mata memandang ke arahku. Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Dengan santai aku terus melahap makanan dalam kotak makan siangku.
“Rian,” Rita menyapa.
“Iya,” jawabku.
“Menu makan siangmu hari ini cuma nasi putih, sepotong ikan goreng, dan beberapa potong buah mentimun segar namun kamu begitu lahapnya. Kamu tidak sakit, kan?” Rita mengomentari isi kotak makan siangku hari ini.
“Iya, Rian. Dan kamu terlihat begitu santai serta tidak malu membuka kotak makan siangmu di depan kami. Aku pernah membawa makan siang dengan menu mie goreng dan telur ceplok. Kurasa menu itu sedikit lebih di atas tingkatannya dari menu makan siangmu hari ini tapi itu sudah membuatku malu setengah mati. Kalian ingatkan dua hari lalu aku tidak makan siang bersama kalian?” Riko ikut menimpali.
Angelina, Darmawan, dan Desi ikut-ikutan melongo mengintip isi kotak makan siangku. Aku tersenyum. Sindrom makan siang – Kebiasaan membandingkan menu bila makan siang bersama di pantry.
“Aku tidak sakit. Mengapa juga harus malu? Ini rahmat TUHAN bagiku siang ini. Ini jauh lebih baik dari orang lain di luar sana yang belum tentu dapat makan siang sekarang. Dan kalian tidak tahu, bukan soal menunya, tetapi di dalam kotak makan siang ini terdapat beribu-ribu bahkan berjuta cinta dari seseorang.” jelasku.
“Ha??!!” Koor teman-teman kerjaku serempak dan keheranan belum mengerti.
“Ini persembahan cinta ibuku buatku hari ini. Setiap hari ia bangun lebih pagi dari aku dan ayah untuk menyiapkan sarapan dan bekal makan siang buat kami sementara aku dan ayah masih tidur, padahal setiap malam ibuku juga tidur paling larut. Ia harus membereskan sisa makan malam dan lainnya. Pagi tadi ibu kurang sehat. Namun ia berkeras tetap melakukan baktinya itu. Aku bisa merasakan keikhlasan cintanya lewat semua itu. Menurut kalian, apa aku harus malu untuk karya ibu ini?”
Teman-temanku terdiam mendengar penuturanku. Di antara kaum Hawa malah ada yang berlinangkan air mata.
Aku melahap potongan mentimun terakhir dari makanan menu makan siangku, kembali tersenyum pada mereka dan berlalu ke ruang kerjaku, tanpa menunggu jawaban mereka atas pertanyaanku.
Entah mengapa hari ini aku ingin cepat pulang dan memeluk ibu. Ada haru menohok rongga dadaku. Aku rindu ibu. Menaruh kepalaku di pangkuannya, bermanja padanya seperti anak kecil lagi.
“Terima kasih, ibu.” bisikku pada angin di luar jendela ruang kerjaku, berharap angin membawanya kepada ibu, ungkapan yang sering lupa kuucapkan itu.

Kupang, 2016


Diterbitkan pertama kali oleh WA Publisher lewat buku Kumpulan Cerpen 'Mengikhlaskanmu Dalam Hujan', 2017. ISBN: 978-602-6622-42-6

Saturday, June 16, 2018

Pengusung Keranda Hutan Malaka




Pengusung Keranda Hutan Malaka
Karya: Marthen Edison


Bayu mengucak-ngucak matanya menggunakan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih menyetir mobil. Yanti asyik mengunyah ayam goreng bekal perjalanan mereka. Novi dan Dece duduk di kursi penumpang bagian tengah antara sadar atau telah terbang ke pulau mimpi. Demikian juga Ito, penghuni kursi penumpang paling belakang.
“Ada yang tidak beres,“ Bayu bergumam.
“Apanya?“ Yanti menyambung.
“Ini seperti bukan jalan menuju Malaka.“ Bayu kembali mengucak matanya dan sedikit memajukan badannya melihat keluar.
“Perasaanmu saja, Bayu. Mungkin karena sudah malam makanya kamu sedikit tidak terbiasa dengan rutenya.“
Bayu terbiasa melakukan perjalanan ke Malaka, kabupaten baru di Pulau Timor. Pekerjaannya sebagai sopir mobil rental membuatnya mengenali rute yang sering ia lewati dengan baik. Namun kali ini sebagaimana pengakuannya, perjalanan kami adalah perjalanan tengah malam pertama untuk ia mengantar penumpang ke Malaka. Sebenarnya rombongan kami akan berangkat pagi tadi bila jadwal meeting Dece di kantornya tidak berubah tiba-tiba. Kami tetap memaksa berangkat malam karena besok acara nikahnya Randy teman kami yang menyunting gadis Malaka.
“Kalau kamu memang ragu, kita tanyakan saja pada orang yang kita temui di jalan,“ Yanti memberi solusi.
“Mana ada orang masih berada di jalan tengah malam begini? Lagian ...,“ suara Bayu terdengar bergetar, mengkhawatirkan sesuatu.
Belum selesai Bayu melanjutkan kata-katanya, dalam jarak kurang lebih tiga meter di depan mobil mereka nampak serombongan orang tersorot cahaya lampu besar mobil. Rombongan orang tersebut terdiri dari delapan orang yang sedang mengusung keranda ditutupi kain hitam.
“Itu ada orang, kita tanya mereka.“ Bayu melambatkan laju mobil dan mulai menepi. Yanti menurunkan kaca pintu mobil di dekat duduknya.
“Pak, mau tanya. Ini benar jalan menuju Malaka?“ tanya Yanti dengan mulut masih mengunyah makanannya.
Pengusung keranda paling depan menatap Yanti, lalu ia menunjuk ke arah depan dengan tangannya yang tidak mengusung keranda tanpa mengucapkan sesuatu. Yanti tersenyum, berarti kekhawatiran Bayu tidak beralasan. Arah jalan mereka sudah benar. Yanti mengucapkan terima kasih kepada para pengusung keranda dan kembali menaikan kaca mobil.
“Lanjut, Bro!“ perintah Yanti pada Bayu.
Bayu pun kembali menginjak pedal gas melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, Bayu tetap merasakan ada kejanggalan. Jalan ini begitu sepi, tidak terlihat satu pun rumah penduduk di kiri maupun kanan jalan. Pohon-pohon besar menjadi pemandangannya. Suara pungguk terus terdengar ditemani embusan angin dingin. Belum lagi mereka baru saja berpapasan dengan rombongan pengusung keranda, tengah malam. Bulu kuduknya mulai merinding.
“Aduh ...!!!“ Serentak Yanti, Novi, Dece dan Ito mengaduh, kaget.
Mobil melalui jalan menurun dan berbatu. Semua penumpang kaget. Tidak terkecuali yang tidur. Mimpi buyar seketika. Bayu ikutan kaget. Ia tersadar dari analisa pikirannya akan segala keanehan.
“Bayu! Apa-apaan nih? Kamu tidur atau menyetir?“ Novi cemberut.
“Maaf, aku tidak sengaja. Aku tidak melihat kalau jalan ini menurun.“ Bayu menarik napas beberapa kali.
“Kita sudah tiba di mana?“ Giliran Dece bertanya.
“Kita tersesat. Aku yakin itu. Aku akan memutar mobil dan kita kembali ke pertigaan sebelumnya, pertigaan di mana terlihat ada beberapa rumah penduduk saat kita melewatinya dua jam lalu. Di sini hutan, bukan jalan biasa kulewati.“ Bayu meneruskan kalimatnya dengan segera memutar kemudi untuk berbalik arah.
“Benarkah? Bukankah orang-orang tadi menunjuk kalau arah kita sudah benar?“ Yanti memprotes.
“Mereka menunjuk, bukan berkata membenarkan. Kamu tidak merasakan ada keanehan? Wajah mereka pucat, mengusung keranda pula. Tengah malam, Yan, ....“
“Apa ...?!!!“ pekik Novi, Dece dan Ito.
Belum Yanti atau Bayu menjelaskan lebih jauh tentang para pengusung keranda, mobil terguncang oleh bebatuan jalan dan tidak dapat melaju naik.
Walau Bayu telah menginjak penuh pedal gas, kedua ban belakang mobil hanya berputar di tempat dan mulai membuat lubang di tanah becek. Rupa-rupanya gerimis mulai turun, membasahi jalan sehingga batu-batu besar penyokong jalan kampung belum diaspal itu menjadi makin licin. Bayu mematikan mesin mobil, kemudian ia membuka pintu mobil dan berjalan ke arah belakang mobil. Diambilnya beberapa batu lalu mengganjar kedua ban belakang mobil. Ito turun dari mobil membantunya.
Setelah dirasa cukup, Bayu kembali ke belakang kemudi dan mulai mencoba melaju naik. Tetap saja tak ada perubahan. Yanti, Novi, dan Dece bergegas turun. Ketiganya juga menurunkan bekal mereka untuk mengisi perut sementara kaum lelaki bekerja mengurusi mobil. Belum juga perbekalan dibuka, tiba-tiba angin bertiup lebih kencang. Petir berkelebat di langit, cukup menerangi tempat sekitar mereka beberapa detik. Mereka baru menyadari kalau mereka tidak sendiri. Dalam radius sepelemparan batu di belakang ketiga perempuan telah berdiri lima rombongan pengusung keranda berwajah pucat, sama seperti yang dilihat Bayu dan Yanti.
Serentak Yanti, Novi dan Dece berlari masuk ke mobil sambil berteriak histeris ketakutan.
“Lemparkan semua makanan itu keluar!“ teriak Ito dari belakang mobil.
Ito pun bergegas naik ke mobil. Lalu dengan sigap ia merebut semua makanan dari ketiga teman perempuannya yang masih histeris dan juga kebingungan tak mengerti dengan apa yang ia perintahkan. Ito melemparkan semuanya keluar.
Saat bersamaan Bayu memacu mobilnya untuk melaju di atas jalan tanjakan. Kali ini mobil mulus bergerak naik. Tanpa menunggu lebih lama, di puncak tanjakan Bayu menginjak pedal gas sedalam-dalamnya. Semuanya berlangsung cepat. Mereka pun meninggalkan para pengusung keranda jauh di belakang.
“Aku masih belum mengerti, mengapa semua bekal kita dibuang? Dan siapa mereka sebenarnya?“ Pikiran jernih Dece mengajaknya bertanya.
“Kalian lupa dengan kepercayaan penduduk pulau ini? Tak boleh membawa makanan berupa daging-dagingan apabila menempuh perjalanan malam, apalagi daging mentah atau daging berdarah. Percaya tidak percaya, masyarakat sini mempercayainya turun-temurun. Barusan buktinya. Aku yakin, kelima keranda yang diusung oleh penampakan mahkluk astral penghuni hutan itu adalah keranda untuk kita.“ Ito menutup penjelasannya dengan berdoa.
“Untung ada kamu, To! Kamu masih mengingat cerita mistis itu. Aku sudah merasa ada kejanggalan. Benar, kejanggalan itu berawal dari ketika Yanti melahap ayam goreng,“ timpal Bayu.
Yanti ingin menanggapi kala namanya disebut Bayu tetapi ia mengurungkannya. Mereka baru saja kembali melewati tempat ia menyapa para pengusung keranda waktu ia menanyakan arah. Mata Yanti masih sempat menangkap bila di tepian jalan itu tampak delapan orang seperti tengah duduk istirahat menikmati ayam goreng. Keranda berkain hitam berada tak jauh dari mereka.


Kupang, 15 Desember 2016

Diterbitkan pertama kali oleh Penulis Muda Publisher lewat buku "Misteri di Sekitar Kita", 2016. ISBN: 978-602-633-356-8

Pekuburan Jam Dua Belas




Pekuburan Jam Dua Belas
Karya: Marthen Edison


Rian menarik napas lega. Rumah terakhir. Selesai sudah kunjungannya ke rumah warga-warga Desa Sikumana lokasi tempat tugasnya yang baru untuk minggu ini sekaligus memeriksa pasien-pasien rawat jalan. Kepalanya telah terisi wajah cantik kekasihnya. Ia dapat menepati janjinya kepada Ersa, weekend di kota. Secepat kilat dimasukannya stateskop, alat tensi, dan peralatan kesehatan lainnya ke dalam tas hitamnya.
Udin, anak sebelas tahun navigator alias penunjuk jalan Dokter Rian mengelilingi desa tampak masih semangat berbincang-bincang dengan Eyang Kapulingga, sang ‘dokter tradisional’. Dukun tua itu sebelumnya selalu menghalangi kehadiran Dokter Rian di desa tersebut. Adanya tenaga medis dianggap sebagai pesaing profesinya. Tidak heran bila para tenaga medis sebelumnya satu demi satu angkat koper – juga kaki, dari medan tugas. Seandainya tidak muncul nama Inaya, cucu Eyang Kapulingga sebagai pasien rawat jalan Dokter Rian, enggan pula Dokter Rian meluangkan waktu ke rumah sang dukun.
“Din, ayo kita pulang.” kata Dokter Rian kepada Udin.
“Baiklah Pak Dokter. Ayo!” jawab Udin.
“Eyang Kapulingga, kami pamit dulu ya ... cucu Eyang baik-baik saja, sudah semakin sehat. Terus minumkan obatnya sampai habis dengan air matang tiga kali sehari, pasti akan pulih. Tidak ada yang perlu dirisaukan.” Pamit Dokter Rian.
“Terima kasih, Pak Dokter. Tapi, maaf ..., “ Eyang Kapulingga tidak melanjutkan kalimatnya.
“Ada apa, Eyang? Apa ada yang ingin Eyang tanyakan atau dapat kulakukan sesuatu guna membantu Eyang? Kita patner kerja, bukan saingan. Jangan sungkan.” suara Dokter Rian tulus.
 “Bukan, ... bukan maksudku demikian Pak Dokter. Bukan juga maksudku tidak sopan menghalangi Pak Dokter pergi. Tapi, ini sudah jam dua belas. Sebaiknya Pak Dokter menunggu sebentar. Saya akan menyiapkan makanan, kita makan siang bersama sambil ...”
“Tidak usah repot, Eyang. Aku masih kenyang. Aku juga masih ada agenda lain.” potong Dokter Rian.
“Aduh! Bagaimana menjelaskannya ya?“ Eyang Kapulingga kebingungan sendiri.
“Menjelaskan apa, Eyang?”
“Udin, bantu eyang menjelaskannya pada Pak Dokter!”
“Jelaskan apa, Eyang?” Udin balik bertanya. Bingung.
“Jam dua belas, Din!” Eyang Kapulingga hampir teriak.
Udin mulai berpikir keras akan maksud Eyang Kapulingga.
“Oh, iya! Pak Dokter, ini sudah jam dua belas. Kita menunggu di sini saja dulu.”  Udin meraih tangan Dokter Rian agar kembali duduk.
“Tidak bisa, Din! Aku harus mengejar bus siang ini. Aku ada acara lain di kota.” Dokter Rian menepis tangan Udin.
“Tapi, Pak Dokter ....” Udin menunduk.
“Ini sebenarnya ada apa, sih?” Dokter Rian mulai hilang sabaran.
“Jam dua belas, Pak Dokter!” sahut Udin dan Eyang Kapulingga hampir bersamaan.
“Iya, ada apa dengan jam dua belas?” kejar Dokter Rian.
Udin dan Eyang Kapulingga saling pandang. Eyang Kapulingga memberi isyarat anggukan, mempersilahkan Udin untuk berbicara mewakili mereka berdua.
Hening sejenak. Masing-masing menunggu.
“Jam dua belas, Pak Dokter. Kita tidak bisa pulang melewati pekuburan desa. Kita akan celaka atau bernasib sial.” Udin memulai.
“Ha?! Mengapa begitu?”
 “Kami di sini mempercayai itu. Kami tidak boleh melewati area pekuburan desa antara jam dua belas sampai jam satu siang, saat matahari tepat berada di atas kepala. Sudah banyak kejadian aneh terjadi di sana yang dilihat warga. Seperti serigala hitam bermulut penuh tetesan darah, hantu wanita tanpa wajah,” lanjut Udin.
“Ya, ampun ...! Zaman sekarang masih percaya yang demikian? Itu cuma mitos. Aku beritahu ya ..., yang harus ditakuti itu manusia hidup. Manusia hiduplah yang dapat mencelakai kita; memegang batu melempari kita, atau sekalian menghunus pisau menikam kita. Kuburan apalagi serigala mana bisa memegang batu atau pisau? Lagian, kalau benar ada warga yang melihat hal-hal seperti cerita Udin barusan, aku yakin itu hanya halusinasi. Panas terik dapat memacu darah lebih cepat ke otak sehingga otak dapat memerintahkan organ lain bekerja di luar normal. Misalnya mata, melihat sumber air di gurun pasir padahal itu hanya fatamorgana, ilusi, atau apalah sejenisnya akibat cuaca panas.” bantah Dokter Rian.
“Tapi, Pak Dokter ....” Eyang Kapulingga mencoba menengahi pembicaraan.
“Maaf, Eyang! Tidak ada tapi-tapi! Aku dan Udin juga bisa cari jalan lain untuk kembali tanpa harus melewati pekuburan,“ ketus Dokter Rian.
“Tidak ada jalan lain, Pak Dokter.”  sela Udin.
Dokter Rian menatap tajam dua manusia lawan bicaranya. Ia mencoba menebak isi kepala mereka. Apa benar cerita mereka atau ini sekedar mengada-ada untuk menghalanginya pergi karena ketidaksukaan Eyang Kapulingga padanya. Bukankah tadi mereka berbincang-bincang sementara ia memeriksa Inaya? Ia manusia moderen, tidak mempercayai mitos atau legenda mistis. Mungkin saja mereka sengaja ingin menahannya lalu mencelakainya. Ersa. Ingatannya pada sang kekasih menghentikan semua dugaannya. Waktu terus berjalan.
 “Ayo, Udin. Kita pergi! Aku akan melaporkan kepada bapak Kepala Desa bila kamu tak pergi bersamaku sekarang.” Dokter Rian menarik tangan Udin.
Mendengar ancaman Dokter Rian, Udin membiarkan dirinya ditarik mengikuti langkah Dokter Rian. Tergesa-gesa keduanya meninggalkan kediaman Eyang Kapulingga dan cucunya tanpa berpamitan lagi.
Sepanjang jalan, Dokter Rian tetap saja menggandeng tangan Udin dengan sedikit memaksa karena ia merasakan langkah kaki Udin sengaja diberatkan. Dan Udin akhirnya benar-benar tidak melangkah lagi ketika berada di tengah pekuburan.
“Ayo, Din! Aku bisa terlambat sampai di terminal bus. Seandainya aku sudah terbiasa dengan jalan-jalan di sini, aku juga tidak akan merepotkan kamu.”
“Sebentar! Apa Pak Dokter tidak melihat apa yang ada di depan kita?”
“Apa?” Dokter Rian memalingkan wajahnya mengikuti arah jari telunjuk Udin. Tampak seekor makhluk berbulu hitam tengah tidur di atas sebuah kuburan.
“Hanya seekor anjing, Din.”
“Bukan, Pak Dokter. Aku yakin itu seekor ... se-serigala hi-hitam.” Udin terbata-bata, ketakutan.
“Omong kosong!” teriak Dokter Rian.
“Aku mau kembali ke rumah Eyang Dukun, Pak Dokter. Kita pulang setelah lewat jam tiga belas saja.” pinta Udin.
“Aku yang memerintah. Keputusan di tanganku!” bentak Dokter Rian, kesal.
“Aku mau ke rumah Eyang Kapulingga, Pak Dokter! Huuuh ...,” rengek Udin.
Mendengar rengekan Udin, Dokter Rian naik pitam. Darah di seluruh tubuhnya makin cepat mengalir ke otak.
“Ya, sudah. Kamu kembali saja sendiri. Aku akan tetap melanjutkan perjalanan melewati pekuburan sekarang!” geram Dokter Rian sambil mendorong tubuh kecil Udin sekuat tenaga.
“Akh ...!”
 Dokter Rian terkejut mendengar suara rintihan Udin. Akibat terdorong, Udin kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kepalanya terluka membentur sebuah batu nisan. Darah segar mengucur deras, membasahi makam di dekatnya terjatuh.
“Udin ...! Sadar, Udin!” teriak Dokter Rian.
Bergegas diperiksanya tubuh Udin. Jarinya ditaruh di depan hidung Udin ... tidak ada embusan. Diperiksanya nadi pergelangan tangan Udin ... tidak ada denyutan. Udin sudah tidak bernyawa.
“Udiiin ...!” jerit Dokter Rian sekeras-kerasnya.
“Auuuuu ...!” lengkingan suara serigala terdengar seolah menyahut jeritan Dokter Rian.
Dokter Rian menoleh. Di belakangnya telah berdiri tegak seekor serigala bermulut penuh tetesan darah.
“Serigala, bukan seekor anjing.” gumamnya.
Dokter Rian melirik jam tangannya.
Jam 12.47. Tiga belas menit lagi menuju  jam 13.00.


Kupang, 10 September 2017



(Terbit di Harian Umum ‘Victory News’ Edisi Minggu, 10 Desember 2017 Halaman 14)

Memoar Janji Suci










Memoar Janji Suci
Karya : Marthen Edison


Senja turun perlahan.
Menjuntai gaun putih berenda, cantiknya mempelaiku.
Senyum merebak seindah lingkaran bunga tiara kepala.
Tudung pengantin tiada mampu sembunyikan parasmu
Sungguh,
penggoda yang sempurna.

Di altar kugenggam tanganmu.
Terucap janji suci;
kita satu menguntai suka mereda duka,
dalam sehat atau pun sakit.
Cincin pengikat melingkari jari manis.
Binar matamu seterang kejora malam,
membias menyilaukan.
Tak tersisa cinta lain masa lalu, sirna.
Kini; aku dan kamu,  bersama menabuh esok.

Putaran waktu menguji.
Aku terpukau; memoar senja janji suci kala itu.
Rambut putih, kerutan wajah; riasan usia.
Jari bertaut, cincin berkait.
Manisnya masih sama, tak pernah menua;
cinta kita, selamanya.

Kupang, 22 November 2016 

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Aksara Aurora Media lewat buku Kumpulan Puisi 'Kenangan Terindah', 2017. ISBN: 978-602-6523-03-7

Keliru











Keliru
Karya: Marthen Edison


Mengenalmu seumur jagung.
Perhatianmu, lembut tutur katamu,
membuatku melayang.
Salahkah aku menilai itu cinta?

Cintamu memang aneh.
Kau bagikan pada semua orang.
Aku cemburu, mengiramu pemain hati.
Ternyata memang kusalah.
Keliru.
Kau bukan manusia; malaikat.
Semua orang sama, wajib dicintai.
Itu titah Tuhan,
dan katamu.

Aku masih berharap,
kata ‘kekasih’ akan membuat perbedaan.
Episode keliru yang kedua:
Ketika senja turun, bocah-bocah memanggilmu ‘papa’
Itu takdir Tuhan.
Dan takdirmu.
Takdirku juga

Aku berlari menjauh.
Membuang kuntum-kuntum layu sejauh-jauhnya.
Mendoakan kebahagianmu pilihanku, bisik Tuhan.

Tak ada lagi keliru yang ketiga.


Kupang, 14 November 2016


Dipublikasikan pertama kali di Fanpage Bintang Pelangi, 2016

‘Aku’ Akunya Aku, Bukan ‘Aku’ Akunya Chairil Anwar







‘Aku’ Akunya Aku, Bukan ‘Aku’ Akunya Chairil Anwar
Karya: Marthen Edison


Aku terpukau
Indah larik puisi Chairil Anwar berjudul ‘Aku’
Mendengarnya menyentak nurani-nurani bisu
Membakar sudut-sudut tirani satu demi satu

Gigih perjuanganku
Hidup tetap keras setelah penjajah berlalu
Terlarang ada kata ‘manja’ dalam kamusku
Apa lagi hanya bergantung berharap, ... menunggu

Padaku tergenggam palu
Mengetuk serta mencari keadilan di balik pintu
Masa depan sejahtera harus indah terdengar berlagu
Suara-suara sumbang biarkan saja diam terpaku

Aku, akunya aku
Bukanlah sosok imajinasi sang penyair 'Aku'
Kami berbeda ruang dan waktu
Namun, ... jiwaku pun merdeka tak dibelenggu oleh bujuk rayu


            Kupang, 31 Maret 2017 

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit WA Publisher lewat buku Kumpulan Puisi 'Debu', 2017. ISBN: 978-602-6622-47-1

Friday, June 15, 2018

Detik Dan Detak





Detik Dan Detak
Karya : Marthen Edison


“Tik...! Tik...! Tik...!“
Detik demi detik jam dindingku berdetik.
Menambah tua waktuku hidup.
Mendekatkan interval tempo kematian.

“Tak...! Tak...! Tak...!“
Detak demi detak jantungku berdetak.
Terus berpacu aku berharap.
Jangan pernah aku kehilangan.

Detik dan detak, bersama mengalun iramanya tetap.
Detik dan detak, berlawanan terlelap:
Detik terlelap; sukacitaku genap, kemudaanku tetap.
Detak terlelap; semuanya lenyap, gelap.


Kupang, 02 Desember 2016


Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Hanami lewat buku Kumpulan Puisi 'Waktu', 2016. ISBN: 978-602-6240-93-4