Pekuburan Jam Dua Belas
Karya: Marthen Edison
Rian menarik napas lega. Rumah
terakhir. Selesai sudah kunjungannya ke rumah warga-warga Desa Sikumana lokasi tempat
tugasnya yang baru untuk minggu ini sekaligus memeriksa pasien-pasien rawat
jalan. Kepalanya telah terisi wajah cantik kekasihnya. Ia dapat menepati
janjinya kepada Ersa, weekend di
kota. Secepat kilat dimasukannya stateskop, alat tensi, dan peralatan kesehatan
lainnya ke dalam tas hitamnya.
Udin, anak sebelas tahun navigator
alias penunjuk jalan Dokter Rian mengelilingi desa tampak masih semangat
berbincang-bincang dengan Eyang Kapulingga, sang ‘dokter tradisional’. Dukun
tua itu sebelumnya selalu menghalangi kehadiran Dokter Rian di desa tersebut. Adanya
tenaga medis dianggap sebagai pesaing profesinya. Tidak heran bila para tenaga
medis sebelumnya satu demi satu angkat koper – juga kaki, dari medan tugas.
Seandainya tidak muncul nama Inaya, cucu Eyang Kapulingga sebagai pasien rawat
jalan Dokter Rian, enggan pula Dokter Rian meluangkan waktu ke rumah sang
dukun.
“Din, ayo kita pulang.” kata
Dokter Rian kepada Udin.
“Baiklah Pak Dokter. Ayo!”
jawab Udin.
“Eyang Kapulingga, kami pamit
dulu ya ... cucu Eyang baik-baik saja, sudah semakin sehat. Terus minumkan
obatnya sampai habis dengan air matang tiga kali sehari, pasti akan pulih.
Tidak ada yang perlu dirisaukan.” Pamit Dokter Rian.
“Terima kasih, Pak Dokter.
Tapi, maaf ..., “ Eyang Kapulingga tidak melanjutkan kalimatnya.
“Ada apa, Eyang? Apa ada yang
ingin Eyang tanyakan atau dapat kulakukan sesuatu guna membantu Eyang? Kita patner kerja, bukan saingan. Jangan
sungkan.” suara Dokter Rian tulus.
“Bukan, ... bukan maksudku
demikian Pak Dokter. Bukan juga maksudku tidak sopan menghalangi Pak Dokter
pergi. Tapi, ini sudah jam dua belas. Sebaiknya Pak Dokter menunggu sebentar.
Saya akan menyiapkan makanan, kita makan siang bersama sambil ...”
“Tidak usah repot, Eyang. Aku
masih kenyang. Aku juga masih ada agenda lain.” potong Dokter Rian.
“Aduh! Bagaimana
menjelaskannya ya?“ Eyang Kapulingga kebingungan sendiri.
“Menjelaskan apa, Eyang?”
“Udin, bantu eyang
menjelaskannya pada Pak Dokter!”
“Jelaskan apa, Eyang?” Udin
balik bertanya. Bingung.
“Jam dua belas, Din!” Eyang
Kapulingga hampir teriak.
Udin mulai berpikir keras akan
maksud Eyang Kapulingga.
“Oh, iya! Pak Dokter, ini
sudah jam dua belas. Kita menunggu di sini saja dulu.” Udin meraih tangan Dokter Rian agar kembali
duduk.
“Tidak bisa, Din! Aku harus
mengejar bus siang ini. Aku ada acara lain di kota.” Dokter Rian menepis tangan
Udin.
“Tapi, Pak Dokter ....” Udin
menunduk.
“Ini sebenarnya ada apa, sih?”
Dokter Rian mulai hilang sabaran.
“Jam dua belas, Pak Dokter!”
sahut Udin dan Eyang Kapulingga hampir bersamaan.
“Iya, ada apa dengan jam dua
belas?” kejar Dokter Rian.
Udin dan Eyang Kapulingga saling
pandang. Eyang Kapulingga memberi isyarat anggukan, mempersilahkan Udin untuk
berbicara mewakili mereka berdua.
Hening sejenak. Masing-masing
menunggu.
“Jam dua belas, Pak Dokter.
Kita tidak bisa pulang melewati pekuburan desa. Kita akan celaka atau bernasib
sial.” Udin memulai.
“Ha?! Mengapa begitu?”
“Kami di sini mempercayai itu.
Kami tidak boleh melewati area pekuburan desa antara jam dua belas sampai jam
satu siang, saat matahari tepat berada di atas kepala. Sudah banyak kejadian
aneh terjadi di sana yang dilihat warga. Seperti serigala hitam bermulut penuh
tetesan darah, hantu wanita tanpa wajah,” lanjut Udin.
“Ya, ampun ...! Zaman sekarang
masih percaya yang demikian? Itu cuma mitos. Aku beritahu ya ..., yang harus
ditakuti itu manusia hidup. Manusia hiduplah yang dapat mencelakai kita;
memegang batu melempari kita, atau sekalian menghunus pisau menikam kita.
Kuburan apalagi serigala mana bisa memegang batu atau pisau? Lagian, kalau
benar ada warga yang melihat hal-hal seperti cerita Udin barusan, aku yakin itu
hanya halusinasi. Panas terik dapat memacu darah lebih cepat ke otak sehingga
otak dapat memerintahkan organ lain bekerja di luar normal. Misalnya mata,
melihat sumber air di gurun pasir padahal itu hanya fatamorgana, ilusi, atau
apalah sejenisnya akibat cuaca panas.” bantah Dokter Rian.
“Tapi, Pak Dokter ....” Eyang
Kapulingga mencoba menengahi pembicaraan.
“Maaf, Eyang! Tidak ada
tapi-tapi! Aku dan Udin juga bisa cari jalan lain untuk kembali tanpa harus
melewati pekuburan,“ ketus Dokter Rian.
“Tidak ada jalan lain, Pak
Dokter.” sela Udin.
Dokter Rian menatap tajam dua
manusia lawan bicaranya. Ia mencoba menebak isi kepala mereka. Apa benar cerita
mereka atau ini sekedar mengada-ada untuk menghalanginya pergi karena
ketidaksukaan Eyang Kapulingga padanya. Bukankah tadi mereka berbincang-bincang
sementara ia memeriksa Inaya? Ia manusia moderen, tidak mempercayai mitos atau
legenda mistis. Mungkin saja mereka sengaja ingin menahannya lalu
mencelakainya. Ersa. Ingatannya pada sang kekasih menghentikan semua dugaannya.
Waktu terus berjalan.
“Ayo, Udin. Kita pergi! Aku
akan melaporkan kepada bapak Kepala Desa bila kamu tak pergi bersamaku
sekarang.” Dokter Rian menarik tangan Udin.
Mendengar ancaman Dokter Rian,
Udin membiarkan dirinya ditarik mengikuti langkah Dokter Rian. Tergesa-gesa
keduanya meninggalkan kediaman Eyang Kapulingga dan cucunya tanpa berpamitan
lagi.
Sepanjang jalan, Dokter Rian
tetap saja menggandeng tangan Udin dengan sedikit memaksa karena ia merasakan
langkah kaki Udin sengaja diberatkan. Dan Udin akhirnya benar-benar tidak
melangkah lagi ketika berada di tengah pekuburan.
“Ayo, Din! Aku bisa terlambat
sampai di terminal bus. Seandainya aku sudah terbiasa dengan jalan-jalan di
sini, aku juga tidak akan merepotkan kamu.”
“Sebentar! Apa Pak Dokter
tidak melihat apa yang ada di depan kita?”
“Apa?” Dokter Rian memalingkan
wajahnya mengikuti arah jari telunjuk Udin. Tampak seekor makhluk berbulu hitam
tengah tidur di atas sebuah kuburan.
“Hanya seekor anjing, Din.”
“Bukan, Pak Dokter. Aku yakin
itu seekor ... se-serigala hi-hitam.” Udin terbata-bata, ketakutan.
“Omong kosong!” teriak Dokter
Rian.
“Aku mau kembali ke rumah
Eyang Dukun, Pak Dokter. Kita pulang setelah lewat jam tiga belas saja.” pinta
Udin.
“Aku yang memerintah. Keputusan
di tanganku!” bentak Dokter Rian, kesal.
“Aku mau ke rumah Eyang
Kapulingga, Pak Dokter! Huuuh ...,” rengek Udin.
Mendengar rengekan Udin,
Dokter Rian naik pitam. Darah di seluruh tubuhnya makin cepat mengalir ke otak.
“Ya, sudah. Kamu kembali saja
sendiri. Aku akan tetap melanjutkan perjalanan melewati pekuburan sekarang!”
geram Dokter Rian sambil mendorong tubuh kecil Udin sekuat tenaga.
“Akh ...!”
Dokter Rian terkejut mendengar
suara rintihan Udin. Akibat terdorong, Udin kehilangan keseimbangan dan
terjatuh. Kepalanya terluka membentur sebuah batu nisan. Darah segar mengucur
deras, membasahi makam di dekatnya terjatuh.
“Udin ...! Sadar, Udin!”
teriak Dokter Rian.
Bergegas diperiksanya tubuh
Udin. Jarinya ditaruh di depan hidung Udin ... tidak ada embusan. Diperiksanya
nadi pergelangan tangan Udin ... tidak ada denyutan. Udin sudah tidak bernyawa.
“Udiiin ...!” jerit Dokter
Rian sekeras-kerasnya.
“Auuuuu ...!” lengkingan suara
serigala terdengar seolah menyahut jeritan Dokter Rian.
Dokter Rian menoleh. Di belakangnya
telah berdiri tegak seekor serigala bermulut penuh tetesan darah.
“Serigala, bukan seekor
anjing.” gumamnya.
Dokter Rian melirik jam
tangannya.
Jam 12.47. Tiga belas menit
lagi menuju jam 13.00.
Kupang, 10 September 2017
(Terbit di Harian Umum ‘Victory News’
Edisi Minggu, 10 Desember 2017 Halaman 14)