Pengusung Keranda Hutan Malaka
Karya: Marthen Edison
Bayu mengucak-ngucak matanya
menggunakan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih menyetir mobil.
Yanti asyik mengunyah ayam goreng bekal perjalanan mereka. Novi dan Dece duduk
di kursi penumpang bagian tengah antara sadar atau telah terbang ke pulau
mimpi. Demikian juga Ito, penghuni kursi penumpang paling belakang.
“Ada yang tidak beres,“ Bayu
bergumam.
“Apanya?“ Yanti menyambung.
“Ini seperti bukan jalan
menuju Malaka.“ Bayu kembali mengucak matanya dan sedikit memajukan badannya
melihat keluar.
“Perasaanmu saja, Bayu.
Mungkin karena sudah malam makanya kamu sedikit tidak terbiasa dengan rutenya.“
Bayu terbiasa melakukan
perjalanan ke Malaka, kabupaten baru di Pulau Timor. Pekerjaannya sebagai sopir
mobil rental membuatnya mengenali rute yang sering ia lewati dengan baik. Namun
kali ini sebagaimana pengakuannya, perjalanan kami adalah perjalanan tengah
malam pertama untuk ia mengantar penumpang ke Malaka. Sebenarnya rombongan kami
akan berangkat pagi tadi bila jadwal meeting Dece di kantornya tidak berubah
tiba-tiba. Kami tetap memaksa berangkat malam karena besok acara nikahnya Randy
teman kami yang menyunting gadis Malaka.
“Kalau kamu memang ragu, kita
tanyakan saja pada orang yang kita temui di jalan,“ Yanti memberi solusi.
“Mana ada orang masih berada
di jalan tengah malam begini? Lagian ...,“ suara Bayu terdengar bergetar,
mengkhawatirkan sesuatu.
Belum selesai Bayu melanjutkan
kata-katanya, dalam jarak kurang lebih tiga meter di depan mobil mereka nampak
serombongan orang tersorot cahaya lampu besar mobil. Rombongan orang tersebut
terdiri dari delapan orang yang sedang mengusung keranda ditutupi kain hitam.
“Itu ada orang, kita tanya
mereka.“ Bayu melambatkan laju mobil dan mulai menepi. Yanti menurunkan kaca
pintu mobil di dekat duduknya.
“Pak, mau tanya. Ini benar
jalan menuju Malaka?“ tanya Yanti dengan mulut masih mengunyah makanannya.
Pengusung keranda paling depan
menatap Yanti, lalu ia menunjuk ke arah depan dengan tangannya yang tidak
mengusung keranda tanpa mengucapkan sesuatu. Yanti tersenyum, berarti
kekhawatiran Bayu tidak beralasan. Arah jalan mereka sudah benar. Yanti mengucapkan
terima kasih kepada para pengusung keranda dan kembali menaikan kaca mobil.
“Lanjut, Bro!“ perintah Yanti
pada Bayu.
Bayu pun kembali menginjak
pedal gas melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, Bayu tetap merasakan
ada kejanggalan. Jalan ini begitu sepi, tidak terlihat satu pun rumah penduduk
di kiri maupun kanan jalan. Pohon-pohon besar menjadi pemandangannya. Suara
pungguk terus terdengar ditemani embusan angin dingin. Belum lagi mereka baru
saja berpapasan dengan rombongan pengusung keranda, tengah malam. Bulu kuduknya
mulai merinding.
“Aduh ...!!!“ Serentak Yanti,
Novi, Dece dan Ito mengaduh, kaget.
Mobil melalui jalan menurun
dan berbatu. Semua penumpang kaget. Tidak terkecuali yang tidur. Mimpi buyar
seketika. Bayu ikutan kaget. Ia tersadar dari analisa pikirannya akan segala
keanehan.
“Bayu! Apa-apaan nih? Kamu
tidur atau menyetir?“ Novi cemberut.
“Maaf, aku tidak sengaja. Aku
tidak melihat kalau jalan ini menurun.“ Bayu menarik napas beberapa kali.
“Kita sudah tiba di mana?“ Giliran
Dece bertanya.
“Kita tersesat. Aku yakin itu.
Aku akan memutar mobil dan kita kembali ke pertigaan sebelumnya, pertigaan
di mana terlihat ada beberapa rumah penduduk saat kita melewatinya dua jam lalu.
Di sini hutan, bukan jalan biasa kulewati.“ Bayu meneruskan kalimatnya dengan
segera memutar kemudi untuk berbalik arah.
“Benarkah? Bukankah
orang-orang tadi menunjuk kalau arah kita sudah benar?“ Yanti memprotes.
“Mereka menunjuk, bukan
berkata membenarkan. Kamu tidak merasakan ada keanehan? Wajah mereka pucat, mengusung
keranda pula. Tengah malam, Yan, ....“
“Apa ...?!!!“ pekik Novi, Dece
dan Ito.
Belum Yanti atau Bayu
menjelaskan lebih jauh tentang para pengusung keranda, mobil terguncang oleh
bebatuan jalan dan tidak dapat melaju naik.
Walau Bayu telah menginjak penuh
pedal gas, kedua ban belakang mobil hanya berputar di tempat dan mulai membuat
lubang di tanah becek. Rupa-rupanya gerimis mulai turun, membasahi jalan
sehingga batu-batu besar penyokong jalan kampung belum diaspal itu menjadi
makin licin. Bayu mematikan mesin mobil, kemudian ia membuka pintu mobil dan
berjalan ke arah belakang mobil. Diambilnya beberapa batu lalu mengganjar kedua
ban belakang mobil. Ito turun dari mobil membantunya.
Setelah dirasa cukup, Bayu kembali ke belakang
kemudi dan mulai mencoba melaju naik. Tetap saja tak ada perubahan. Yanti,
Novi, dan Dece bergegas turun. Ketiganya juga menurunkan bekal mereka untuk
mengisi perut sementara kaum lelaki bekerja mengurusi mobil. Belum juga
perbekalan dibuka, tiba-tiba angin bertiup lebih kencang. Petir berkelebat di
langit, cukup menerangi tempat sekitar mereka beberapa detik. Mereka baru
menyadari kalau mereka tidak sendiri. Dalam radius sepelemparan batu di belakang
ketiga perempuan telah berdiri lima rombongan pengusung keranda berwajah pucat,
sama seperti yang dilihat Bayu dan Yanti.
Serentak Yanti, Novi dan Dece berlari masuk ke
mobil sambil berteriak histeris ketakutan.
“Lemparkan semua makanan itu
keluar!“ teriak Ito dari belakang mobil.
Ito pun bergegas naik ke
mobil. Lalu dengan sigap ia merebut semua makanan dari ketiga teman
perempuannya yang masih histeris dan juga kebingungan tak mengerti dengan apa
yang ia perintahkan. Ito melemparkan semuanya keluar.
Saat bersamaan Bayu memacu mobilnya untuk melaju
di atas jalan tanjakan. Kali ini mobil mulus bergerak naik. Tanpa menunggu
lebih lama, di puncak tanjakan Bayu menginjak pedal gas sedalam-dalamnya. Semuanya
berlangsung cepat. Mereka pun meninggalkan para pengusung keranda jauh di
belakang.
“Aku masih belum mengerti,
mengapa semua bekal kita dibuang? Dan siapa mereka sebenarnya?“ Pikiran jernih
Dece mengajaknya bertanya.
“Kalian lupa dengan
kepercayaan penduduk pulau ini? Tak boleh membawa makanan berupa
daging-dagingan apabila menempuh perjalanan malam, apalagi daging mentah atau
daging berdarah. Percaya tidak percaya, masyarakat sini mempercayainya
turun-temurun. Barusan buktinya. Aku yakin, kelima keranda yang diusung oleh
penampakan mahkluk astral penghuni hutan itu adalah keranda untuk kita.“ Ito
menutup penjelasannya dengan berdoa.
“Untung ada kamu, To! Kamu
masih mengingat cerita mistis itu. Aku sudah merasa ada kejanggalan. Benar,
kejanggalan itu berawal dari ketika Yanti melahap ayam goreng,“ timpal Bayu.
Yanti ingin menanggapi kala
namanya disebut Bayu tetapi ia mengurungkannya. Mereka baru saja kembali melewati
tempat ia menyapa para pengusung keranda waktu ia menanyakan arah. Mata Yanti
masih sempat menangkap bila di tepian jalan itu tampak delapan orang seperti
tengah duduk istirahat menikmati ayam goreng. Keranda berkain hitam berada tak
jauh dari mereka.
Kupang, 15 Desember 2016
Diterbitkan pertama kali oleh Penulis Muda Publisher lewat buku "Misteri di Sekitar Kita", 2016. ISBN: 978-602-633-356-8
No comments:
Post a Comment