Saturday, June 16, 2018

Pengusung Keranda Hutan Malaka




Pengusung Keranda Hutan Malaka
Karya: Marthen Edison


Bayu mengucak-ngucak matanya menggunakan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih menyetir mobil. Yanti asyik mengunyah ayam goreng bekal perjalanan mereka. Novi dan Dece duduk di kursi penumpang bagian tengah antara sadar atau telah terbang ke pulau mimpi. Demikian juga Ito, penghuni kursi penumpang paling belakang.
“Ada yang tidak beres,“ Bayu bergumam.
“Apanya?“ Yanti menyambung.
“Ini seperti bukan jalan menuju Malaka.“ Bayu kembali mengucak matanya dan sedikit memajukan badannya melihat keluar.
“Perasaanmu saja, Bayu. Mungkin karena sudah malam makanya kamu sedikit tidak terbiasa dengan rutenya.“
Bayu terbiasa melakukan perjalanan ke Malaka, kabupaten baru di Pulau Timor. Pekerjaannya sebagai sopir mobil rental membuatnya mengenali rute yang sering ia lewati dengan baik. Namun kali ini sebagaimana pengakuannya, perjalanan kami adalah perjalanan tengah malam pertama untuk ia mengantar penumpang ke Malaka. Sebenarnya rombongan kami akan berangkat pagi tadi bila jadwal meeting Dece di kantornya tidak berubah tiba-tiba. Kami tetap memaksa berangkat malam karena besok acara nikahnya Randy teman kami yang menyunting gadis Malaka.
“Kalau kamu memang ragu, kita tanyakan saja pada orang yang kita temui di jalan,“ Yanti memberi solusi.
“Mana ada orang masih berada di jalan tengah malam begini? Lagian ...,“ suara Bayu terdengar bergetar, mengkhawatirkan sesuatu.
Belum selesai Bayu melanjutkan kata-katanya, dalam jarak kurang lebih tiga meter di depan mobil mereka nampak serombongan orang tersorot cahaya lampu besar mobil. Rombongan orang tersebut terdiri dari delapan orang yang sedang mengusung keranda ditutupi kain hitam.
“Itu ada orang, kita tanya mereka.“ Bayu melambatkan laju mobil dan mulai menepi. Yanti menurunkan kaca pintu mobil di dekat duduknya.
“Pak, mau tanya. Ini benar jalan menuju Malaka?“ tanya Yanti dengan mulut masih mengunyah makanannya.
Pengusung keranda paling depan menatap Yanti, lalu ia menunjuk ke arah depan dengan tangannya yang tidak mengusung keranda tanpa mengucapkan sesuatu. Yanti tersenyum, berarti kekhawatiran Bayu tidak beralasan. Arah jalan mereka sudah benar. Yanti mengucapkan terima kasih kepada para pengusung keranda dan kembali menaikan kaca mobil.
“Lanjut, Bro!“ perintah Yanti pada Bayu.
Bayu pun kembali menginjak pedal gas melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan, Bayu tetap merasakan ada kejanggalan. Jalan ini begitu sepi, tidak terlihat satu pun rumah penduduk di kiri maupun kanan jalan. Pohon-pohon besar menjadi pemandangannya. Suara pungguk terus terdengar ditemani embusan angin dingin. Belum lagi mereka baru saja berpapasan dengan rombongan pengusung keranda, tengah malam. Bulu kuduknya mulai merinding.
“Aduh ...!!!“ Serentak Yanti, Novi, Dece dan Ito mengaduh, kaget.
Mobil melalui jalan menurun dan berbatu. Semua penumpang kaget. Tidak terkecuali yang tidur. Mimpi buyar seketika. Bayu ikutan kaget. Ia tersadar dari analisa pikirannya akan segala keanehan.
“Bayu! Apa-apaan nih? Kamu tidur atau menyetir?“ Novi cemberut.
“Maaf, aku tidak sengaja. Aku tidak melihat kalau jalan ini menurun.“ Bayu menarik napas beberapa kali.
“Kita sudah tiba di mana?“ Giliran Dece bertanya.
“Kita tersesat. Aku yakin itu. Aku akan memutar mobil dan kita kembali ke pertigaan sebelumnya, pertigaan di mana terlihat ada beberapa rumah penduduk saat kita melewatinya dua jam lalu. Di sini hutan, bukan jalan biasa kulewati.“ Bayu meneruskan kalimatnya dengan segera memutar kemudi untuk berbalik arah.
“Benarkah? Bukankah orang-orang tadi menunjuk kalau arah kita sudah benar?“ Yanti memprotes.
“Mereka menunjuk, bukan berkata membenarkan. Kamu tidak merasakan ada keanehan? Wajah mereka pucat, mengusung keranda pula. Tengah malam, Yan, ....“
“Apa ...?!!!“ pekik Novi, Dece dan Ito.
Belum Yanti atau Bayu menjelaskan lebih jauh tentang para pengusung keranda, mobil terguncang oleh bebatuan jalan dan tidak dapat melaju naik.
Walau Bayu telah menginjak penuh pedal gas, kedua ban belakang mobil hanya berputar di tempat dan mulai membuat lubang di tanah becek. Rupa-rupanya gerimis mulai turun, membasahi jalan sehingga batu-batu besar penyokong jalan kampung belum diaspal itu menjadi makin licin. Bayu mematikan mesin mobil, kemudian ia membuka pintu mobil dan berjalan ke arah belakang mobil. Diambilnya beberapa batu lalu mengganjar kedua ban belakang mobil. Ito turun dari mobil membantunya.
Setelah dirasa cukup, Bayu kembali ke belakang kemudi dan mulai mencoba melaju naik. Tetap saja tak ada perubahan. Yanti, Novi, dan Dece bergegas turun. Ketiganya juga menurunkan bekal mereka untuk mengisi perut sementara kaum lelaki bekerja mengurusi mobil. Belum juga perbekalan dibuka, tiba-tiba angin bertiup lebih kencang. Petir berkelebat di langit, cukup menerangi tempat sekitar mereka beberapa detik. Mereka baru menyadari kalau mereka tidak sendiri. Dalam radius sepelemparan batu di belakang ketiga perempuan telah berdiri lima rombongan pengusung keranda berwajah pucat, sama seperti yang dilihat Bayu dan Yanti.
Serentak Yanti, Novi dan Dece berlari masuk ke mobil sambil berteriak histeris ketakutan.
“Lemparkan semua makanan itu keluar!“ teriak Ito dari belakang mobil.
Ito pun bergegas naik ke mobil. Lalu dengan sigap ia merebut semua makanan dari ketiga teman perempuannya yang masih histeris dan juga kebingungan tak mengerti dengan apa yang ia perintahkan. Ito melemparkan semuanya keluar.
Saat bersamaan Bayu memacu mobilnya untuk melaju di atas jalan tanjakan. Kali ini mobil mulus bergerak naik. Tanpa menunggu lebih lama, di puncak tanjakan Bayu menginjak pedal gas sedalam-dalamnya. Semuanya berlangsung cepat. Mereka pun meninggalkan para pengusung keranda jauh di belakang.
“Aku masih belum mengerti, mengapa semua bekal kita dibuang? Dan siapa mereka sebenarnya?“ Pikiran jernih Dece mengajaknya bertanya.
“Kalian lupa dengan kepercayaan penduduk pulau ini? Tak boleh membawa makanan berupa daging-dagingan apabila menempuh perjalanan malam, apalagi daging mentah atau daging berdarah. Percaya tidak percaya, masyarakat sini mempercayainya turun-temurun. Barusan buktinya. Aku yakin, kelima keranda yang diusung oleh penampakan mahkluk astral penghuni hutan itu adalah keranda untuk kita.“ Ito menutup penjelasannya dengan berdoa.
“Untung ada kamu, To! Kamu masih mengingat cerita mistis itu. Aku sudah merasa ada kejanggalan. Benar, kejanggalan itu berawal dari ketika Yanti melahap ayam goreng,“ timpal Bayu.
Yanti ingin menanggapi kala namanya disebut Bayu tetapi ia mengurungkannya. Mereka baru saja kembali melewati tempat ia menyapa para pengusung keranda waktu ia menanyakan arah. Mata Yanti masih sempat menangkap bila di tepian jalan itu tampak delapan orang seperti tengah duduk istirahat menikmati ayam goreng. Keranda berkain hitam berada tak jauh dari mereka.


Kupang, 15 Desember 2016

Diterbitkan pertama kali oleh Penulis Muda Publisher lewat buku "Misteri di Sekitar Kita", 2016. ISBN: 978-602-633-356-8

No comments:

Post a Comment